Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesultanan Sambas: Sejarah dan Raja-raja

Kompas.com - 29/12/2021, 15:00 WIB
Lukman Hadi Subroto,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kerajaan Sambas atau nama resminya Kesultanan Melayu Sambas berdiri di wilayah pesisir utara Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di Kota Sambas sekarang.

Dari sumber Kitab Negarakertagama, kerajaan ini diperkirakan telah berdiri sebelum abad ke-14.

Namun, kala itu belum bercorak Islam dan namanya bukan Sambas, hanya dijelaskan bahwa rajanya bergelar "Nek". Adapun Kesultanan Sambas berdiri pada 1671.

Baca juga: Kerajaan Mempawah: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan

Sejarah berdirinya

Cikal bakal Kesultanan Sambas bermula dari Kesultanan Brunei. Saat diperintah oleh Sultan Abdul Jalilul Akbar, terdapat isu bahwa Pangeran Muda Tengah akan merebut takhta.

Untuk menghindari perebutan wilayah, Sultan Abdul Jalilul Akbar memberikan wilayah Serawak kepada Pangeran Muda Tengah.

Mulai 1629, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Serawak dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah, yang kemudian dikenal dengan Sultan Tengah.

Suatu ketika, Sultan Tengah, yang melakukan perjalanan dari Johor, terdampar di pantai yang masuk wilayah Kesultanan Sukadana.

Sultan Tengah kemudian mengunjungi istana Sukadana dan mendapat sambutan yang hangat dari rajanya, Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) dan diijinkan untuk tinggal dalam waktu yang lama.

Setelah saling mengenal, Sultan Muhammad Shafiuddin menikahkan Sultan Tengah dengan putrinya yang bernama Putri Surya Kesuma.

Baca juga: Kerajaan Jongkong: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan

Dari pernikahan itu, Sultan Tengah dan Putri Surya Kesuma dikarunai anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.

Setelah beberapa tahun menetep di Sukadana, Sultan Tengah bersama pengikut setianya pindah ke sekitar Sungai Sambas pada 1638, yang saat itu terdapat Kerajaan Panembahan Sambas.

Begitu sampai, Sultan Tengah mendapat sambutan dari Ratu Sapudak, yang berkuasa di Panembahan Sambas.

Ratu Sapudak pun mengijinkan rombongan Sultan Tengah mendirikan perkampungan di sebuah tempat tidak jauh dari pusat pemerintahannya.

Ketika putranya, Sulaiman, beranjak dewasa, Sultan Tengah menikahkannya dengan putri bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu.

Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima. Tidak lama kemudian, Raden Sulaiman diangkat untuk menjabat sebagai Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Arya Mangkurat.

Baca juga: Kerajaan Landak: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan

Setelah Sultan Tengah meninggal, Raden Sulaiman mendapat tekanan dan ancaman dari Raden Arya Mangkurat.

Demi keselamatannya dan keluarganya, Raden Sulaiman memutuskan mundur dan pindah ke Kota Bandir.

Sekitar empat tahun menetap di Kota Bandir, tiba-tiba para petinggi dan penduduk Panembahan Sambas mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau.

Hal ini dilakukan karena mereka tidak tahan menghadapi Raden Arya Mangkurat. Raden Sulaiman kemudian diminta untuk memulai pemerintahan baru.

Oleh karena itu, Raden Sulaiman akhirnya mendirikan kerajaan baru pada 1671, yang bernama Kesultanan Sambas.

Raden Sulaiman menjadi pendiri sekaligus raja pertamanya dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin I.

Adapun pusat pemerintahan Kesultanan Sambas berada di dekat muara Sungai Tebrau yang bernama Lubuk Madung.

Baca juga: Kerajaan Kubu: Sejarah, Perkembangan, dan Raja-raja

Perkembangan

Pada masa pemerintahan Raden Bima, yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin, ibu kota kerajaan dipindah ke percabangan tiga sungai, yaitu Sungai Sambas, Sungai Tebrau, dan Sungai Subah.

Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Muara Ulakkan, yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas hingga saat ini.

Kesultanan Sambas menjadi kerajaan terbesar di wilayah pesisir barat Kalimantan dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19.

Hingga awal abad ke-19, atau pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas dalam kondisi berdaulat penuh.

Namun sekitar tahun 1805 hingga tahun 1811, terjadi pertempuran di laut antara Inggris dengan angkatan laut Kesultanan Sambas.

Setelah pasukan Inggris dipukul mundur, giliran Belanda yang datang dan mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sambas.

Berawal dari hubungan dagang, Belanda mulai memiliki pengaruh besar dalam urusan internal Kesultanan Sambas pada tahun 1855.

Baca juga: Kerajaan Sekadau: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan

Masa pendudukan Jepang

Pengaruh Belanda baru hilang dari Kesultanan Sambas ketika Jepang resmi berkuasa di Indonesia.

Namun, Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin, yang berkuasa di Sambas, dibunuh Jepang karena dituduh akan melakukan pemberontakan.

Pembunuhan juga dilakukan terhadap para tokoh di Kalimantan Barat saat itu. Peristiwa kekejaman Jepang tersebut terkenal dengan Peristiwa Mandor.

Pasca-kemerdekaan Indonesia

Setelah Jepang kalah Perang Dunia II dan Indonesia merdeka, Kesultanan Sambas bergabung dengan RIS dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada 1950.

Pada 1956, bekas wilayah Kesultanan Sambas secara utuh dijadikan wilayah Kabupaten Sambas hingga tahun 2000.

Setelah itu, Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi tiga daerah pemerintahan, yaitu Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang hingga sekarang.

Saat ini, Kesultanan Sambas dipimpin oleh Pangeran Ratu Raden Muhammad Tarahan, yang bertindak sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana.

Baca juga: Kerajaan Bunut: Sejarah, Perkembangan, dan Keruntuhan

Raja-raja Kesultanan Sambas

  • Sultan Muhammad Shafiuddin I ( Sultan Tengah ) (1671 - 1682)
  • Sultan Muhammad Tajuddin (1682 - 1718)
  • Sultan Umar Aqamaddin I (1718 - 1732)
  • Sultan Abubakar Kamaluddin bin (1732 - 1762)
  • Sultan Umar Aqamaddin II (1762 - 1786) dan (1793 - 1802)
  • Sultan Achmad Tajuddin (1786 - 1793)
  • Sultan Abubakar Tajuddin I (1802 - 1815)
  • Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1815 - 1828)
  • Sultan Usman Kamaluddin (1828 - 1832)
  • Sultan Umar Aqamaddin III (1832 - 1846)[5][6]
  • Sultan Abu Bakar Tajuddin II (1846 - 1854)[7]
  • Sultan Umar Kamaluddin  (1854 - 1866)
  • Sultan Muhammad Shafiuddin II (1866 - 1924)
  • Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (1924 - 1926)
  • Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1931 - 1944)
  • Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom (1946-1950)
  • Muhammad Taufik (1950-1984)
  • Winata Kusuma (1984-2008)
  • Muhammad Tarhan (2008-Sekarang)

 

Referensi:

  • Taniputera, Ivan. (2017). Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com