Perlawanan itu juga sebagai bentuk penolakan kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Pada awalnya, Prediger masih mencoba untuk menempuh cara persuasif dan berusaha menarik dukungan dari sejumlah ukung.
Namun, melihat keadaan semakin kritis karena aksi rakyat Minahasa, Prediger tidak memiliki pilihan selain mengirim pasukan untuk menyerang Tondano.
Seperti Perang Tondano 1, Belanda kembali menerapkan strategi membendung Sungai Temberan.
Selain itu, Belanda menyiapkan dua pasukan yang ditugaskan untuk menyerang dari darat dan air.
Pada 23 Oktober 1808, pertempuran mulai berkobar dan Belanda berhasil menerobos pertahanan rakyat Minahasa.
Serangan pun terus dilakukan baik di darat maupun air, hingga kampung pertahanan Minawanua seperti tidak ada kehidupan lagi.
Dalam perkembangannya, strategi Belanda untuk membendung Sungai Temberan ternyata justru menjadi senjata makan tuan. Pasalnya, air sungai yang meluap mempersulit gerak pasukan Belanda.
Baca juga: Perlawanan Terhadap VOC di Maluku, Makassar, Mataram, dan Banten
Perang Tondano II berlangsung cukup sengit hingga Agustus 1809. Bahkan pada 5 Agustus 1809, benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankannya.
Setelah itu, Belanda membantai semua penduduk yang dijumpainya sampai habis.
Dalam kelompok-kelompok terbatas, sisa pasukan Minahasa memilih bertahan di hutan lebat yang tidak mudah untuk dijangkau Belanda.
Karena kesulitan menjangkau tengah hutan, Belanda sampai mengaku akan memberikan pengampunan kepada pemberontak asalkan mereka mau mengakui kekuasaan Belanda.
Akan tetapi, hal itu tidak pernah terjadi karena pihak Inggris lebih dulu mengambil alih kekuasaan Belanda di Minahasa pada 1810.
Pihak Inggris memanggil tokoh Perang Tondano 2, yakni Matulandi dan Mamait, dari persembunyian di hutan dan mengangkat mereka kembali sebagai kepala walak.
Sementara Lonto dan beberapa tokoh perlawanan lainnya yang sempat dibuang ke Ternate, dikembalikan ke Minahasa.
Oleh Inggris, para pemberontak Belanda itu diberi izin untuk membangun permukiman di tempat yang lama, yakni di sebelah utara Minawanua.
Referensi: