Kemudian, ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Team Tempur I (Tegas) di Riau.
Pada 1 Agustus 1963, Katamso ditugaskan menjadi Kodam VII/Diponegoro.
Beberapa bulan kemudian ia dipercaya menjadi Komandan Resort Militer (Korem) 072/Pamungkas di bawah Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta.
Baca juga: Sahardjo: Kehidupan, Pendidikan, Karier Hukum, dan Akhir Hidupnya
Setelah penculikan dan pembunuhan para jenderal meletus pada 1 Oktober 1965, situasi memanas dan membingungkan.
Penanggungjawab G30S di Jakarta, Letnan Kolonel Untung, mengumumkan telah dibentuk Dewan Revolusi.
Kegelisahan pun semakin bertambah saat terdengar siaran dari RRI Semarang yang mengatakan bahwa Dewan Revolusi Daerah Jawa Tengah sudah dibentuk.
Katamso Darmokusumo selaku Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro juga belum mengetahui secara pasti apa yang terjadi di ibukota.
Katamso yang masih berpangkat kolonel kemudian menggelar rapat staf.
Akhirnya, ia pun mengutus ajudannya untuk berangkat ke Semarang dan mencari informasi lebih lanjut.
Di hari yang sama, Katamso sendiri sudah dijadwalkan untuk menghadiri rapat di Magelang.
Perginya Katamso ke Magelang ini ternyata sudah diamati oleh sebagian orang militer di Yogyakarta.
Ketidakadaan Kolonel Katamso sebagai orang berwenang ini membuat Mayor Mulyono dan komplotannya dengan leluasa menjalankan rencana mereka.
Para bawahan Kolonel Katamso ternyata sudah merencanakan untuk mengambil alih kekuasaan militer di Yogyakarta.
Kepala Seksi (Kasi) Korem 72/Pamungkas Mayor Mulyono bertindak sebagai pimpinan, dibantu oleh Mayor Kartawi, Mayor Denauri, Kapten Kusdibyo, Kapten Wisnuaj, dan yang lainnya.
Sepulangnya Katamso dari Magelang, ia belum sadar bahwa beberapa anak buahnya sudah mengambil alih Korem 72/Pamungkas.