Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mubeng Beteng, Tradisi Malam 1 Suro Keraton Yogyakarta

Mubeng Beteng adalah tradisi Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan setiap malam 1 Suro dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan malam tahun baru Islam dalam kalender Hijriah.

Sesuai namanya, prosesi Mubeng Beteng dilakukan dengan mengelilingi benteng atau beteng Keraton Yogyakarta.

Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun oleh keluarga Keraton Yogyakarta selama lebih dari dua abad.

Mubeng Beteng merupakan tradisi penuh makna, yang mulanya dilaksanakan oleh abdi dalem keraton saja.

Pada perkembangannya, masyarakat juga bisa turut serta dalam ritual ini. Berikut sejarah tradisi Mubeng Beteng.

Sudah ada sejak era Sultan Hamengkubuwono II

Melansir laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi Mubeng Beteng sudah ada sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono II, yang memerintah tiga periode, yakni antara 1792–1810, 1811–1812, dan 1826–1828.

Mulanya, Mubeng Beteng merupakan upacara resmi atau upacara kenegaraan Keraton Yogyakarta, yang dilaksanakan oleh para abdi dalem atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono yang bertakhta.

Seiring waktu, tradisi ini tidak hanya dilaksanakan oleh abdi dalem keraton, tetapi diikuti pula oleh masyarakat.

Mubeng Beteng merupakan bagian dari tirakat lampah ratri, yakni munajat atau upaya untuk mendapatkan keridaan Allah, dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu.

Prosesinya terinspirasi dari perjalanan suci hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, yang penuh keprihatinan dan perjuangan.

Para abdi dalem dan masyarakat yang menjalani prosesi Mubeng Beteng tidak hanya berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta tanpa alas kaki, tetapi juga melakukan tapa bisu (tanpa berbicara).

Makna Mubeng Beteng adalah bentuk refleksi bersama, perenungan, dan permohonan perlindungan serta penyucian diri menuju manusia yang lebih baik di tahun yang akan datang.

Prosesi Mubeng Beteng dimulai ketika lonceng Kyai Brajanala di regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali.

Setelah itu, diikuti dengan pembacaan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti dan doa bersama hingga tengah malam.

Ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, para abdi dalem mulai berjalan sejauh kurang lebih lima kilometer mengitari benteng keraton berlawanan dengan arah jarum jam.

Masyarakat Yogyakarta maupun wisatawan dari dalam dan luar negeri yang ingin berpartisipasi, dapat mengikuti prosesi di belakang barisan para abdi dalem.

Selain itu, mereka juga harus mematuhi tradisi dengan menanggalkan alas kaki dan tidak boleh berbicara.

Pasalnya, tujuan Mubeng Beteng bukan untuk menyambut tahun baru Islam dan Jawa dengan hingar bingar, tetapi dalam keheningan guna merefleksikan diri selama satu tahun sebelumnya dan berdoa untuk tahun yang akan datang.

Itulah yang membedakan tradisi ini dengan perayaan tahun baru Masehi, yang biasanya dirayakan dengan pesta pora, contohnya seperti menyalakan kembang api.

Kini, Mubeng Beteng telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda dari DIY.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/10/120000279/mubeng-beteng-tradisi-malam-1-suro-keraton-yogyakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke