Sebelum memimpin Kabinet Wilopo dalam masa tugasnya sebagai perdana menteri, Wilopo merupakan tokoh pergerakan nasional yang aktif dalam berbagai organisasi perjuangan.
Wilopo juga sempat dipenjara oleh Belanda, pada masa Agresi Militer Belanda ke Indonesia.
Berikut ini biografi Wilopo.
Riwayat pendidikan
Wilopo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 21 Oktober 1909. Ia merupakan putra seorang mantri guru bernama Prawirodihardjo.
Pendidikan formal Wilopo dimulai di HIS (Hollands Inlandsche School), kemudian lanjut ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Magelang.
Ketika bersekolah di Magelang, Wilopo mulai berorganisasi dengan bergabung NATIPIJ (Nationaal Islamitische Padvinderij).
NATIPIJ adalah sebuah gerakan kepanduan yang berada di bawah pengawasan Partai Sarekat Islam.
Lulus dari MULO, Wilopo melanjutkan pendidikannya di AMS-B Yogyakarta, sekolah menengah bagi siswa yang berminat mempelajari fisika, kimia, dan ilmu alam.
Semasa menempuh pendidikan di Yogyakarta, Wilopo sempat bergabung dengan organisasi Jong Java, tetapi tidak lama karena merasa tidak cocok dengan gagasannya.
Ia akhirnya menjadi anggota organisasi Indonesia Muda, yang memperkenalkannya dengan pemikiran Soekarno.
Dari Yogyakarta, Wilopo hijrah ke Bandung, dan bergabung dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia) cabang Bandung.
Pengajar, penulis, dan tokoh pergerakan
Pada 1932, Wilopo pindah ke Sukabumi dan mendapat tawaran menjadi guru di Taman Dewasa.
Setelah menjadi pengajar, Wilopo masih melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jakarta.
Sewaktu menempuh doktoral I, tepatnya pada Oktober 1937, Wilopo menikah dengan Sumikalimah.
Wilopo kemudian tinggal di daerah Matraman, Jakarta Timur, dan menghidupi keluarga kecilnya dengan mengandalkan honor sebagai pengajar di beberapa sekolah dan menjadi penulis feature untuk sejumlah surat kabar berbahasa Belanda.
Di sela-sela kesibukannya, Wilopo terus aktif dalam pergerakan politik. Ia masih tercatat sebagai anggota PPPI dan bergabung Partindo (Partai Indonesia), sebagaimana telah ia lakukan sewaktu di Sukabumi.
Wilopo juga bergabung dengan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) dan dipilih sebagai Ketua Pengurus Besar Harian Gerindo dalam kongres yang diselenggarakan pada Oktober 1941.
Menjelang invasi Jepang ke Indonesia, Gerindo mengambil sikap tegas untuk menolak fasisme.
Sikap tersebut dituangkan dalam Manifest Gerindo, yang turut ditandatangani oleh Wilopo.
Pada masa pendudukan Jepang, Wilopo bergabung dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), dengan tugas membantu Mr. Sartono, yang menjabat Sekjen Putera.
Saat Putera dibubarkan dan diganti Jawa Hokokai, Wilopo bertugas di Kantor Kepala Usaha, yang nantinya digabungkan ke dalam Pemerintah Kotapraja Jakarta.
Menjelang peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, sebagai bagian dari Pemerintah Kotapraja Jakarta, Wilopo mendapat tugas menyiapkan perangkat untuk pembacaan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan
Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Wilopo sempat menjadi Wakil Ketua Barisan Pelopor, kemudian terpilih menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai wakil dari PNI (Partai Nasional Indonesia).
Pada November 1946, Wilopo diangkat menjadi Kepala Bagian Perburuhan, yang nantinya menjadi Jawatan Perburuhan.
Semasa peristiwa Agresi Militer Belanda I (Juli-Agustus 1947), banyak tokoh pejuang kemerdekaan yang ditahan Belanda, termasuk Wilopo.
Wilopo ditahan selama hampir dua tahun.
Ketika meletus Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Wilopo dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Yogyakarta.
Wilopo dan para tahanan lainnya dibebaskan setelah penandatanganan Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949.
Setelah bebas, Wilopo aktif kembali di jabatan sebelumnya sebagai Kepala Bagian Perburuhan.
Kabinet Wilopo
Pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah peristiwa penyerahan kedaulatan, Wilopo menjadi Menteri Perburuhan dalam Kabinet Hatta.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan sejak 16 Agustus 1950, Wilopo kemudian bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan menjabat Ketua I DPP (Dewan Perimbangan Partai).
Pada 16 Maret 1952, Wilopo diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-7.
Karena situasi politik saat itu, Kabinet Wilopo baru disahkan oleh Presiden Soekarno pada 6 April 1952.
Partai pendukung Kabinet Wilopo adalah PNI dan Masyumi.
Beberapa program kerja Kabinet Wilopo di antaranya:
Latar belakang Wilopo sebagai mantan Menteri Perburuhan sewaktu Kabinet RIS, turut mendatangkan sambutan positif dari partai berhaluan kiri untuk kabinetnya.
Karena Wilopo mampu menyelesaikan kasus pemogokan buruh di Sumatera Timur, pada masa Kabinet Wilopo banyak serikat buruh yang mendukung pemerintah, dibandingkan pada masa kabinet sebelumnya.
Keberhasilan Kabinet Wilopo tercoreng oleh tragedi Tanjung Morawa di Sumatera Utara, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Karena tidak mendapatkan kepercayaan dari parlemen, Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada 2 Juni 1953.
Langkah itu diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 131 Tahun 1953 tentang Pembubaran Kabinet Wilopo.
Wafat di usia 72 tahun
Setelah tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Wilopo masih aktif sebagai Ketua Konstituante (1955-1959) dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1968-1978).
Wilopo wafat pada 20 Januari 1981, dalam usia 72 tahun.
https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/29/130000979/biografi-wilopo-perdana-menteri-indonesia-ke-7