Banyak organisasi-organisasi yang didirikan Jepang selama menduduki Indonesia, baik organisasi militer dan semimiliter hingga yang bergerak di bidang seni kebudayaan.
Akan tetapi, selama menduduki Indonesia, Jepang melarang semua bentuk kegiatan politik bagi rakyat pribumi.
Di bawah pemerintahan Jepang, seluruh kegiatan politik dihentikan sejak 20 Maret 1942.
Barulah pada 15 Juli 1942, Jepang mengizinkan pembentukan kelompok-kelompok yang tujuan utamanya adalah memberikan hiburan, seperti di bidang olahraga, kesenian, relaksasi, dan lain-lain.
Namun, tidak ada aktivitas politik yang dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut.
Organisasi politik yang diperbolehkan berdiri hanyalah yang dibentuk oleh Jepang, yaitu:
Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A didirikan bersamaan dengan hari ulang tahun Tenno Heika, yaitu 29 April 1942.
Gerakan Tiga A terkenal dengan semboyan "Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia".
Sebagai sponsor gerakan ini, Departemen Propaganda (Sendenbu) memilih Syamsuddin, seorang tokoh terkemuka dari Parindra, Jawa Barat, untuk menjabat sebagai ketua.
Untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia dalam Perang Asia Timur Raya, Gerakan Tiga A diluncurkan.
Masyarakat secara bertahap diperkenalkan dengan gerakan Jepang ini pada Mei 1942 melalui media.
Untuk mendukung organisasi tersebut, terbentuklah organisasi Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukardjo Wirjopranoto dan penerbitan majalah Asia Raya.
Kurangnya dukungan dari masyarakat membuat Gerakan Tiga A hanya mampu bertahan dalam waktu singkat.
Upaya Gerakan Tiga A untuk menggalang dukunga rakyat Indonesia dianggap tidak efektif oleh pemerintah Jepang.
Oleh karena itu, pada 20 November 1942, Gerakan Tiga A dihentikan.
Putera
Pada 1 Maret 1943, Jepang membentuk Putera atau Pusat Tenaga Rakyat yang dipimpin Empat Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur.
Soekarno menyatakan bahwa kehancuran yang disebabkan oleh imperialisme Belanda merupakan dorongan bagi Putera untuk membangun dan memulihkan segalanya.
Bagi Jepang, Putera berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan seluruh kekuatan rakyat Indonesia untuk mendukung tujuan militer mereka.
Empat Serangkai sering berinteraksi dengan masyarakat dan menyampaikan pidato dengan tujuan menumbuhkan rasa patriotisme yang kuat pada rakyat Indonesia dan mempersiapkan kemerdekaan.
Putera lebih berfokus kepada kemerdekaan rakyat Indonesia daripada upaya perang Jepang.
Oleh karena itu, Jepang akhirnya membubarkan Putera dan mendirikan Jawa Hokokai pada 1944.
Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai)
Gagalnya Putera dalam menjalankan tugasnya kepada Jepang, berujung pada pembentukan Jawa Hokokai pada 1 Januari 1944.
Secara resmi Jawa Hokokai dideklarasikan sebagai organisasi pemerintah dengan Gunseikan sebagai pemegang kendali di atasnya.
Kegiatan Jawa Hokokai meliputi usaha-usaha berikut:
MIAI
Majelis Islam a'la Indonesia (MIAI) didirikan oleh K.H. Mas Mansyur dan rekan seperjuangannya di Surabaya pada 1937.
Selama masa pendudukan Jepang, MIAI adalah satu-satunya organisasi pergerakan yang tetap bertahan.
Tokoh-tokoh MIAI antara lain adalah Zainul Arifin, Karto Sudarmo, K.H. Nachrowi, K.H. Hasyim, K.H. Mas Mansyur, dan K.H. Farid Ma'ruf.
Sebagai kelompok anti-Barat, Jepang melihat MIAI sebagai sekutu potensial dalam perjuangan mereka di Perang Pasifik.
Namun, mengumpulkan baitul mal dan merencanakan hari raya Islam adalah satu-satunya kegiatan MIAI.
MIAI mendapatkan dukungan besar dari umat Islam karena statusnya sebagai satu-satunya organisasi Islam.
Sebagai hasilnya, MIAI meningkatkan kualitasnya hingga terus berkembang dengan cepat.
Namun, organisasi ini akhirnya dibubarkan Jepang pada Oktober 1943.
Keberadaan MIAI kemudian digantikan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/18/130000179/apa-saja-organisasi-politik-bentukan-jepang-