Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Liberalisme dan Pasar Bebas Kita

Dulu di awal kemerdekaan memang ada kecenderungan ke arah sosialisme, karena pengaruh paham Marxisme dan sosialisme model Eropa pada para pemimpin dan pendiri bangsa.

Sosialisme waktu itu dianggap sebagai bentuk perlawanan dan kritik pada model kapitalisme yang dianggap sebagai akar penjajahan bangsa Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika.

Karena pasar bebaslah, persaingan antartengkulak, kompetisi bebas perdagangan, dan penanaman modal, semua itu mendorong eksplorasi bahan baku untuk pasar Eropa.

Penjajahan bermula dari situ. Pelancongan, ekpedisi, dan pendudukan dari dorongan ekonomi dan pasar bebas.

Rempah-rempah menjadi komoditi utama pada awalnya. Barang itu diperebutkan dengan melibatkan kekuatan politik dan bahkan perang.

Selanjutnya tebu, karet, dan semua produk bumi, termasuk jenis pertambangan dari perut bumi. Komoditi mengikuti selera pasar.

Sosialisme pada awalnya adalah kritik pada eksploitasi bumi dan manusia. Trendi waktu itu. Tidak lagi saat ini.

Di era pembangunan Orde Baru, mekanisme pasar mengatur gerak pertumbuhan ekonomi. Leberalisme pelan-pelan kembali, walaupun intervensi otoritas pemerintah atas pasar terasa. Dorongan, suntikan, dan regulasi berusaha untuk mengatur pasar.

Ekonom dan pemikir liberal Jerman Friedrich August von Hayek (1899-1992) percaya pada mekanisme pasar bebas. Menurut dia, kebebasan akan mengarah pada kretivitas, inovasi, dan keuntungan bisnis.

Tiga hal itu bisa menciptakan kekayaan dan kemakmuran baik bagi warga secara individu maupun bagi masyarakat luas. Kebebasan itu baik bagi manusia sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Individu yang bebas akan menjadi kreatif. Untuk masyarakat, kebebasan akan menciptakan kompetisi yang mengarah pada inovasi dan usaha-usaha swasta.

Jika kita lihat tidak hanya sebagai sistem ekonomi, tapi juga sosial dan politik, sistem kita hampir seliberal gagasan Hayek.

Usaha informal luar biasa berkembangnya, dari tenda pecel lele, kios pinggir jalan, sampai usaha-usaha online. Pasar kita cukup bebas, liberal.

Begitu juga dalam politik. Partai politik saat ini berjumlah banyak dan silih berganti bebas lahir dan berkembang.

Satu Pemilu ke Pemilu lain akan melihat partai yang tidak lagi berkompetisi sekaligus lahirnya partai baru. Pasar kita sebebas orang-orang mendirikan tenda, mendorong gerobak, membangun kios-kios.

Sektor yang paling banyak berkembang tanpa kendali adalah sektor informal. Cara informal juga berlaku pada sosial dan politik, tidak hanya ekonomi.

Restoran-restoran dan café-café di sekitar jalan, kantor, dan kampus tumbuh dengan kreatif. Tidak lagi diketahui mana yang hilang dan mana yang baru berdiri. Pasar kita memang liberal.

Liberalisme dalam pemikiran teologi sempat menjadi haram, dilarang. Orang yang menggunakan kata itu akan takut dicap sudah keluar dari agama. Namun praktiknya liberalisme dipraktikkan dan sepertinya Indonesia cocok dengan sistem itu.

Gerak dan langkah organisasi sosial dan keagamaan kita juga cukup liberal, sebagaimana digambarkan oleh Hayek. Kompetisi bebas dalam wacana publik. Perdebatan dan pertarungan gagasan juga terbuka. Tanpa kendali yang ketat akan melahirkan kreativitas tersendiri.

Para dai, ustaz, dan penceramah jelas mengikuti pasar bebas, bahkan mungkin terbebas di dunia.

Di Malaysia ada regulasi yang pasti dan ditaati, setiap yang khutbah di mimbar shalat Jumat harus dengan lisensi pemerintah, baik kerajaan lokal ataupun pusat. Indonesia tidak ada.

Semua berhak berceramah kapan saja, tidak hanya shalat Jumat. Tarawih, kultum, pengajian, muzakarah, wirid, sholawat, doa bersama, semua boleh dilakukan.

Di Saudi tidak begitu. Imam dan penceramah dalam kendali pemerintah.

Pasar bebas dalam bidang agama sepertinya hanya dianut di Indonesia. Liberalisme yang bukan paham teologi, tetapi mekanisme pasar telah berlaku dalam bidang sosial keagamaan kita.

Bidang ekonomi banyak yang menikmati liberalisme. Usaha-usaha bebas, minim intervensi, dan kendali otoritas tidak mengatur pasar.

Tentu paham intervensi juga berlaku, terutama saat krisis. Krisis ekonomi saat reformasi, intervensi pemerintah berkali-kali.

Waktu menghadapi covid-19 juga ada usaha intervensi. Pemerintah masih turun tangan dalam banyak kebijakan, dan ini juga sudah lama dimulai sejak Orde Baru.

Paham ini cocok dilihatnya dengan kacamata John Maynard Keynes (1883-1946). Menurut dia, mekanisme pasar perlu regulasi dan intervensi oleh pemerintah untuk mengatur dan menyelamatkan saat kekacauan terjadi.

Namun, liberalisme tampaknya lebih cocok untuk melihat gerakan sosial, ekonomi, dan politik kita. Ideologi-ideologi masuk dengan mudah di negeri kita.

Memang akhirnya terjadi penyesuain dengan selera pasar lokal. Namun seleksi alami terjadi di pasar kita. Dalam suasana liberal seperti ini, kita sulit mengukur dan mengatur kemana arah pasar itu.

Tidak ada indikasi kuat kemana selera para pembeli, klien, atau nasabah dari satu episode ke episode berikutnya condong.

Sistem demokrasi kita berganti berkali-kali: liberal, terpimpin, sentralistik, militer, demokrasi langsung, desentralisasi, dan resentralisasi.

Selera pasar sulit dikendalikan. Arah selera juga sulit diprediksi dengan pasti. Usaha-usaha komoditi informal dengan kios, tenda, dorongan bakso, bebas berdiri. Apapun bisa terjadi.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/09/094953279/liberalisme-dan-pasar-bebas-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke