Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aksara Incung, Dulunya Digunakan oleh Suku Kerinci

Suku Kerinci sendiri mendiami dataran tinggi di kota Jambi.

Secara bahasa, surat berarti tulisan sementara, sedangkan incung berarti miring atau terpancung dalam bahasa Kerinci.

Maka dari itu, bentuk huruf Aksara Incung juga beraneka ragam, ada yang garis lurus, patah terpancung, dan melengkung yang ditulis miring beberapa derajat.

Biasanya, Aksara Incung digunakan untuk mendokumentasikan sejarah nenek moyang, sastra seperti prosa-prosa percintaan, perjanjian adat, dan berbagai mantra.

Sejarah Aksara Incung

Aksara Incung adalah turunan dari aksara Sumatera Kuno atau Aksara Pasca Pallawa.

Pada dasarnya, Aksara Incung berakar dari Aksara Brahmik yang digunakan di India.

Penamaan Aksara Incung dituliskan di dalam sebuah naskah kuno beraksara Incung, seperti naskah pusaka Rajo Sulah dari Siulak Mukai.

Kalimat pembuka dari naskah ini berbunyi, "hah basamilah mujur akung mangarang surat Incung". 

Kalimat itu menunjukkan bahwa naskah tersebut ditulis dengan Aksara Incung.

Jika ditelusuri lebih jauh, Aksara Incung diperkirakan digunakan sejak abad ke-14 hingga abad ke-15 M.

Naskah tertua yang menggunakan Aksara Incung adalah dua halaman terakhir dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah.

Penemuan

Penemuan Aksara Incung pertama kali dilaporkan oleh William Marsden pada abad ke-19 M.

Pada 1934, William Marsden yang bertugas di East Indian Company di Bengkulu melakukan penelitian pertamanya mengenai Aksara Incung.

Konon, Marsden mempelajarinya langsung dari seorang guru pribumi.

Diperkirakan, ia mencatat aksara-aksara Incung dari naskah ukiran bambu, menunjukkan karakteristiknya yang kaku.

Setelah beberapa tahun, Aksara Incung kembali diteliti oleh Edward Jacobson, seorang naturalis asal Belanda di Kerinci pada 1915.

Sebab, saat itu Jacobson banyak menerima kabar bahwa masyarakat memiliki banyak pusaka yang tidak lagi dapat dibaca orang-orang.

Jacobson kemudian meminta izin untuk menyalin isi naskah dan ia berhasil mengartikannya.

Setelah itu, Jacobson mengirimkan 27 buah salinan naskah kepada L.C. Westenenk yang merupakan residen di Bengkulu.

Westenenk berhasil memecahkan salinan naskah yang diberikan padanya dengan berbekal dari pengalamannya dalam meneliti aksara-aksara di Sumatera Selatan.

Lalu, Westenenk menyusun tabel Aksara Incung yang diterbitkan dalam jurnal Etnografi pada 1922 di Batavia.

Tidak hanya Westenenk, seorang pegawai bahasa pada masa kolonial, yaitu Petrus Voorhoeve dan istrinya dengan seorang guru pribumi di Kerinci, Abdul Hamid, juga berhasil mendokumentasikan dan mentransliterasikan ratusan naskah kuno yang beraksara Incung, Jawi, dan Pasca-Pallawa di Sumatera Tengah.

Pada 1941, hasil transliterasi itu dibukukan dengan judul "Tambo Kerintji".

Dokumen tersebut kemudian diketik ulang oleh C.W. Watson dan disempurnakan ejaannya oleh Uli Kozok pada 2006.

Naskah Incung

Umumnya, naskah Incung dituliskan pada media berupa tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, kertas, dan tulang.

Naskah Incung yang ditulis di tanduk kerbau biasanya berisi surat perjanjian dan tembo (komunitas penyimpan naskah), seperti empat naskah tanduk yang disimpan oleh luhah Depati Sungai Lago di Mendapo Rawang.

Naskah tersebut berisikan keterangan silsilah dari komunitas yang menghuni Tanah Rawang.

Kemudian, naskah Incung pada bambu dan kertas biasanya berisi prosa ratapan kesedihan dan percintaan.

Selain berisi prosa, naskah Incung pada bambu juga terkadang berisi mantra, seperti mantra kesuburan dan mantra pelindung diri yang disebut Sanggabunuh.

Referensi:

  • Maulana, Ridwan. (2020). Aksara-aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia. Yogyakarta: Samudra Biru.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/11/22/090000979/aksara-incung-dulunya-digunakan-oleh-suku-kerinci

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke