Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Situasi Jawa Setelah Perjanjian Giyanti

Hasil dari Perjanjian Giyanti turut memicu timbulnya protes dari masyarakat Jawa.

Perjanjian Giyanti juga menimbulkan banyak terjadinya konflik di wilayah Jawa.

Lalu, bagaimana situasi di Jawa setelah ditandanganinya Perjanjian Giyanti? 

Pemberontakan Raden Mas Said

Pada 1757, Mataram kembali dilanda perpecahan, dengan adanya pemberontakan oleh Raden Mas Said, yang merupakan putra tertua Susuhunan Amangkurat IV, Raja Mataram ke-8.

Raden Mas Said terus berbuat gaduh dengan mengalahkan salah satu kelompok VOC hingga hampir membakar istana baru di Yogyakarta.

Perlawanan Raden Mas Said mulai melemah ketika dihadapkan pada tiga kekuatan sekaligus, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan VOC.

Dikarenakan kekuatan lawan yang tak lagi dapat dibendung, ia kehilangan banyak sekutu dalam aksinya untuk menguasai Mataram.

Pada Februari 1757, Raden Mas Said menyerah pada Pakubuwono III.

Pada Perjanjian Salatiga disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat sebagian dari wilayah Keraton Surakarta sekaligus mengangkatnya sebaga penguasa, yakni Praja Mangkunegara dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara.

Setelah itu, Raden Mas Said mengucap sumpah setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC secara resmi.

Selanjutnya, setiap pekan, KGPAA Mangkunegara melapor ke Susuhunan Pakubuwono sebagai bentuk penghormatan.

Sebagai imbalannya, Raden Mas Said berhak atas tanah 4.000 cacah dari Pakubuwono III dan menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1795).

Kemunduran VOC

Saat itu, Belanda sedang mengalami dua masalah besar dan terancam gulung tikar.

Masalah pertama, terjadi korupsi secara besar-besaran di tubuh VOC.

Masalah kedua, kalahnya Belanda dalam perang melawan Perancis. Oleh karena itu, pada 1795, Napoleon Bonaparte mengambil alih Belanda dan membentuk negara boneka.

Pada 1 Januari 1800, VOC resmi dibubarkan dan Hindia Belanda diambil alih oleh Pemerintah Belanda.

Saat VOC dibubarkan, situasi di Jawa sedang mengalami suksesi untuk petama kalinya sejak Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1753).

Pengangkatan raja-raja Jawa

Ketika terjadi persaingan antara Keraton Kasunanan, Keraton Kesultanan, dan Kadipaten Mangkunegara, pihak Belanda memanfaatkan situasi tersebut.

Pada 1813, perpecahan kembali terjadi di Mataram, ketika Jenderal Raffles mengangkat Pangeran Notokusumo di Kadipaten Pakualaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Paku Alam.

Sementara itu, sebagian masyarakat Jawa masih berasumsi bahwa Yogyakarta dan Surakarta merupakan ahli waris Kesultanan Mataram.

Terdapat dualisme pada birokrasi kerajaan karena Belanda berkuasa atas raja-raja beserta beberapa urusan tertentu di dalamnya.

Para raja menyebut residen selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan sebutan bapa (vader) dan gubernur jenderal dipanggil eyang (groot vader).

Raja ditunjuk sebagai perwira pribumi dengan pangkat Jenderal Mayor oleh pemerintah Belanda.

Secara tidak langsung, raja tidak memiliki kuasa penuh atas kerajaannya karena surat-surat yang masuk harus melewati residen .

Pergerakan raja selalu dipantau layaknya tawanan di keraton sendiri.

Hal ini disebabkan mereka terikat aturan-aturan khusus, semisal izin ketika hendak keluar keraton.

Adapun kekuasaan raja atas rakyatnya didasarkan pada hubungan kawula-gusti.

Raja dianggap sebagai wewakiling Pangeran Kang Ageng (wakil Tuhan yang Maha Besar).

Keadaan Vorstenlanden aman

Sementara waktu setelah Perjanjian Giyanti, kondisi Vorstenlanden, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, menjadi aman. Terlebih, setelah berakhirnya Perang diponegoro.

Banyak perubahan di wilayah itu, salah satunya dengan masuknya kapitalisme atau pemodal asing.

Kondisi Vorstenlanden berubah, bermula dengan masuknya kaum kapitalis yang menyewa tanah milik sultan/sunan, disusul dengan reorganisasi agrarian serta penghapusan sistem apanage (kebijakan terhadap petani dan perusahaan Belanda) secara menyeluruh.

Aturan itu memicu masuknya modal swasta pada sektor pertanian, tetapi raja dan penguasa mengabaikannya.

Akhirnya, raja-raja kehilangan kekuatan politik dan ekonomi dan hanya menjadi simbol budaya di kalangan pribumi.

Referensi:

  • Kresna, Ardian. (2011). Sejarah Panjang Mataram. Jogjakarta: Diva Press

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/23/180000279/situasi-jawa-setelah-perjanjian-giyanti

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke