Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Lubang Buaya, Tempat Dibuangnya 7 Pahlawan Revolusi

Nama Lubang Buaya terkenal karena menjadi tempat ditemukannya jenazah 7 Pahlawan Revolusi, korban dari Peristiwa Gerakan 30 September (G30S).

Ada sebuah legenda yang tersebar luas di masyarakat terkait penamaan kawasan Lubang Buaya.

Berikut penjelasannya.

Berasal dari legenda siluman buaya putih

Dalam sebuah legenda disebutkan kehadiran seorang sakti bernama Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.

Ia yang mencetuskan penamaan kawasan Lubang Buaya.

Salah satu keturunan kesembilan dari Datuk Banjir, yaitu Yanto Wijoyo mengatakan bahwa pencetusan nama Lubang Buaya berawal ketika leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad ke-7.

Sebelum sampai di Jakarta, Datuk Banjir melakukan perjalanan melalui Kali Sunter dengan mengendarai kendaraan dari bambu yang biasa disebut getek.

Malangnya, di tengah perjalanan, getek milik Datuk Banjir tersedot ke dalam sebuah lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.

Akan tetapi, Datuk Banjir tidak ikut terseret ke dalam lubang tersebut.

Menurut Yanto, peristiwa ini terjadi karena ulah dari seorang penguasa ajaib yang ada di Kali Sunter, yaitu seekor buaya putih.

Konon ceritanya, buaya putih ini bernama Pangeran Gagak Jakalumayung.

Sang siluman memiliki seorang anak bernama Mpok Nok, yang berwujud buaya tanpa ekor atau disebut buaya buntung.

Dikisahkan bahwa Datuk Banjir bertarung melawan kedua buaya itu sebelum masuk ke kampung yang sekarang disebut Lubang Buaya.

Setelah berhasil menaklukkan kedua buaya itu, Datuk Banjir kemudian mencetuskan nama Lubang Buaya.

Tempat dibuangnya 7 Pahlawan Revolusi G30S

Dalam sejarahnya, Lubang Buaya dijadikan sebagai tempat dibuangnya 7 Pahlawan Revolusi yang menjadi korban dalam Peristiwa G30S.

Enam jenderal dan satu perwira TNI AD yang diculik dan dibunuh dalam G30S adalah:

  1. Jenderal Ahmad Yani
  2. Mayjen R. Soeprapto
  3. Mayjen M.T Haryono
  4. Mayjen S. Parman
  5. Brigjen DI Panjaitan
  6. Brigjen Sutoyo
  7. Lettu Pierre A Tendean

Ketujuh Pahlawan Revolusi ini disebut-sebut dijemput secara paksa oleh pasukan Cakrabirawa dari kediaman mereka masing-masing pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Ada yang dibawa dalam keadaan masih hidup, ada pula yang sudah meninggal dunia akibat dirundung tembakan oleh pasukan Cakrabirawa.

Tiga perwira TNI AD yang tewas di kediamannya adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Panjaitan.

Ketujuh orang ini kemudian dimasukkan ke dalam Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Kabar yang beredar, setelah para jenderal dimasukkan ke sumur di Lubang Buaya, tubuh mereka langsung dihujani tembakan.

Jenazah mereka berhasil ditemukan berkat kesaksian seorang polisi bernama Sukitman.

Sukitman berhasil meloloskan diri setelah ia sempat dibawa paksa ke Lubang Buaya oleh kelompok G30S pada 1 Oktober 1965.

Ketujuh jenazah ini ditemukan oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) di kawasan hutan karet Lubang Buaya.

Jenazah tersebut ditemukan di sumur tua dengan kedalaman sekitar 12 meter.

Saat ditemukan, sumur tua tersebut ditimbuni dedaunan, sampah kain, dan batang-batang pisang.

Jenazah yang ada di tumpukan paling atas adalah tubuh Lettu Pierre A Tendean.

Jenderal Ahmad Yani sendiri berada di tindihan keempat, DI Panjaitan paling bawah, dan MT Haryono di atasnya.

Proses pengangkatan jenazah dimulai pada Minggu, 3 Oktober 1964.

Akan tetapi, jenazah baru bisa diangkat pada 4 Oktober 1965 menggunakan tabung zat asam oleh evakuator.

Enam jenderal dan satu perwira TNI ini kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-20 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Alasan Lubang Buaya dipilih sebagai basis PKI

Setelah rencana penculikan para perwira TNI AD dibuat, DN Aidit selaku ketua pimpinan PKI menugaskan Kepala Biro Chusus PKI (badan intelijen PKI), yaitu Sjam Kamaruzaman untuk membangun sebuah komando untuk menculik mereka.

Perintah itu disampaikan Aidit kepada Sjam pada 12 Agustus 1965.

Sjam langsung mendiskusikan pembentukan komando itu bersama dengan para pembantunya, yakni Pono dan Walujo.

Mereka bertiga mencari nama-nama para perwira yang sekiranya dapat diandalkan dan mendukung penuh kebijakan-kebijakan PKI.

Nama yang disebut adalah Kolonel Latief, Komandan Brigade Infanteri I Garnisun Jakarta.

Sebab, Kolonel Latief merupakan penentang para jenderal puncak AD dan secara terang-terangan mendukung kebijakan PKI sekaligus memimpin sekelompok perwira radikal dalam Garnisun Jakarta.

Setelah itu, Pono dan Walujo mengusulkan nama Mayor Udara Sujono alias Pak Joyo, Komandan Resimen Keamanan AURI di Pangkalan Udara Halim.

Mayor Udara Sujono kemudian mengizinkan Sjam dan para simpatisan PKI lainnya untuk mendirikan sebuah pusat pelatihan di Lubang Buaya.

Alasan Lubang Buaya dijadikan sebagai basis PKI karena lokasinya yang dekat dengan Pangkalan Udara Halim.

Selain itu, Lubang Buaya juga masih termasuk wilayah di bawah yurisdiksinya.

PKI diizinkan untuk menggunakan senjata-senjata sekaligus perlengkapan AURI.

Jenazah keenam jenderal dan satu perwira TNI yang ditemukan di Lubang Buaya pun kemudian dijadikan salah satu alasan menuding PKI sebagai dalang G30S. 

Referensi:

  • Fic, Victor M. (2005). Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998. Jakarta: Balai Pustaka.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/09/29/150000079/sejarah-lubang-buaya-tempat-dibuangnya-7-pahlawan-revolusi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke