Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jenderal Sukendro, Target G30S yang Lolos Karena Perjalanan Dinas

G30S merupakan operasi penculikan terhadap sekelompok jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), yang diyakini hendak mengudeta Presiden Soekarno.

Nama Sukendro sebenarnya tercantum dalam daftar target G30S yang dibuat oleh sejumlah tokoh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia merupakan orang kepercayaan AH Nasution yang juga dekat dengan pejabat maupun badan intelijen Amerika Serikat (CIA).

Sukendro selamat dari peristiwa tersebut karena sedang menjalankan tugas negara ke China atas perintah Presiden Soekarno.

Siapa sosok Jenderal Sukendro?

Ahmad Sukendro lahir pada 16 November 1923 di Banyumas, Jawa Tengah.

Kiprahnya tercatat pada masa pendudukan Jepang, di mana ia mendaftar sebagai anggota PETA (Pembela Tanah Air).

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Sukendro bergabung dengan Divisi Siliwangi dan di situlah AH Nasution menyadari kemampuan analisisnya yang berada di atas rata-rata perwira lainnya.

AH Nasution, yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), mengangkat Sukendro sebagai asisten intelijen (Asintel) I KSAD.

Pada 1957, saat perwira-perwira daerah resah dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta dan berniat menuntut opsi otonomi, Sukendro menggelar operasi intelijen.

Operasi Sukendro mampu memperkecil kekacauan pada masa Pemberontakan PRRI dan Permesta.

Dari situlah posisinya terus merangkak naik menjadi sosok penting di tubuh TNI AD, yang dekat dengan AH Nasution maupun Ahmad Yani.

Sebagai perwira antikmunis garis keras, Sukendro juga pernah memimpi penindasan terhadap PKI pada Juli-September 1960.

Buntut dari peristiwa itu, Presiden Soekarno mengajak TNI AD berkompromi dan mencapai kesepakatan bahwa Sukendro dikirim ke pengasingan selama tiga tahun.

Dekat dengan pejabat AS dan CIA

Selama masa pengasingan, Sukendro belajar di University of Pittsburgh di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS).

Menurut sejarawan Universitas British Columbia, John Roosa, dalam bukunya, Sukendro menjalin kontak hingga bisa dekat dengan para pejabat AS dan CIA.

Pada 1965, Sukendro menjadi penghubung penting antara kedutaan besar AS dengan pimpinan angkatan darat di bawah Soeharto dan AH Nasution.

Namanya banyak disebut dalam The President's Daily Brief, laporan intelijen CIA, pada sekitaran peristiwa G03S.

Target yang selamat dari G30S

Peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD pada malam 30 September 1965 dipicu oleh isu adanya Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal adalah sekelompok jenderal TNI AD yang diyakini hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Dewan Jenderal dipercaya sejalan dengan Amerika Serikat dan anti terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mereka ingin menyingkirkan Soekarno, yang saat itu condong ke Uni Soviet dan anti-Barat.

Atas dasar informasi itu, para perwira militer simpatisan PKI yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.

Dalam daftar Dewan Jenderal yang diterima PKI, ada nama Brigjen Ahmad Sukendro, yang bahkan disebut sebagai salah satu penggeraknya.

Melansir intisari.grid.id, dalam pertemuan terakhir operasi G30S di rumah Sjam Kamaruzaman, di Salemba Tengah, pada 30 September 1965, ada delapan jenderal yang akan dijemput.

Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen S Parman, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Ahmad Sukendro.

Rencananya mereka akan "diculik" dan dibawa ke hadapan Presiden Soekarno. Namun, rencana itu kacau dalam pelaksanaannya.

Para jenderal malah dibunuh setelah diculik pada malam 30 September 1965, dan PKI langsung dituding menjadi dalang G30S yang bertujuan mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Indonesia.

Jenderal Sukendro pun lolos dari maut, karena pada saat G30S terjadi, ia tengah menjalankan tugas negara.

Sukendro ditugaskan oleh Presiden Soekarno sebagai salah satu anggota delegasi Indonesia untuk peringatan Hari Kelahiran Republik China, 1 Oktober 1965.

Dalam laporan The President's Daily Brief tanggal 15 Oktober 1965 yang bisa diakses publik di situs resmi CIA, disebutkan bahwa Jenderal Sukendro satu-satunya "brain trust" TNI AD yang selamat dari setelah pembunuhan 30 September.

Lebih lanjut, Sukendro mengatakan kepada pejabat AS bahwa ia pikir situasinya cukup baik.

Namun, pertanyaan besarnya adalah apakah TNI AD bisa memberantas komunis karena Soekarno merasa keberatan.

John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengartikan "brain trust" sebagai kelompok jenderal pemikir di TNI AD yaitu Ahmad Yani, Suprapto, MT Haryono, S Parman dan Sukendro.

Mereka adalah target utama dari para Dewan Jenderal yang menjadi sasaran G30S.

Laporan CIA pada 26 Oktober 1965 mengatakan kalau Sukendro menolak perintah Soekarno untuk mengasingkan diri.

Namun akhirnya, pada 29 Oktober 1965, Soekarno berhasil memaksa Sukendro hengkang dari Indonesia.

Disingkirkan oleh pemerintah Orba

Selepas peristiwa G30S, peran Sukendro terdepak oleh kiprah Ali Moertopo.

Ketika Soeharto naik ke puncak kekuasaan pada awal 1966, nama Sukendro semakin redup.

Terlebih, setelah Sukendro mengakui keberadaan Dewan Jenderal dalam sebuah kursus perwira TNI AD di Bandung.

Pada 1967, Sukendro ditangkap atas perintah Presiden Soeharto melalui Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro.

Selama sembilan bulan, Sukendro ditahan di sel Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Ia kemudian dilepas tanpa pengadilan, dan setelah itu ditampung Gubernur Jawa Tengah, Supardjo Rustam.

Sukendro diberi kepercayaan mengelola perusahaan daerah Jateng. Ia meninggal pada 11 Mei 1984, di Jakarta.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/09/29/141500779/jenderal-sukendro-target-g30s-yang-lolos-karena-perjalanan-dinas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke