Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Kopi di Indonesia

Belanda pertama kali membawa kopi ke Indonesia pada 1696, tetapi gagal.

Tiga tahun kemudian, tahun 1699, Belanda kembali melakukan uji coba membawa kopi masuk ke Indonesia dan berhasil.

Berikut ini sejarah kopi di Indonesia.

Abad 17

Setelah Belanda berhasil membawa kopi ke Indonesia dari Afrika dan Amerika Selatan, mereka mengembangkannya di perkebunan-perkebunan kopi di Pulau Jawa.

Kemudian, lebih dari satu abad, hampir seluruh perkebunan di Pulau Jawa dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman kopi.

Jenis kopi pertama yang ditanam di Indonesia adalah kopi arabika.

Pada saat itu, perkebunan kopi arabika di Pulau Jawa telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Sebab, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas dan mutu yang baik sehingga disukai oleh orang-orang Eropa.

Sebelum tahun 1900, kopi arabika telah menjadi komoditas ekspor utama bagi pemerintah Belanda.

Seiring berjalannya waktu, kopi arabika pun menyebar ke pulau-pulau lainnya, seperti Sumatera, Bali, dan lainnya.

Akan tetapi, penyebaran kopi tersebut tidak seluas di Pulau Jawa.

Sayangnya, masa kejayaan kopi arabika tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh kemunculan gejala serangan jamur Karat Daun.

Gejala ini dimulai di Jawa sejak 1878, sebelum akhirnya menyebar luas.

Varietas-varietas kopi arabika yang ditanam pada saat itu pun rentan terhadap serangan jamur, sehingga dalam waktu relatif singkat telah menimbulkan kerugian besar.

Akibatnya, banyak perkebunan kopi arabika di dataran rendah mulai dialihkan ke tanaman lain, seperti kakao, karet, kopi robusta, dan kelapa.

Abad 19

Pada abad ke-19, Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan kopi arabika yang dikirim ke Takengon, Aceh.

Tanaman kopi tersebut pertama kali ditanam di sebelah utara Danau Laut Tawar yang diyakini terletak di sekitar Paya Tumpi.

Kemudian, Belanda mulai mengembangkan kawasan perkebunan lainnya yang dikelola sebagai tanaman komersial, seperti kentang, teh, dan getah pinus mercusi.

Tidak hanya itu saja, pemerintah kolonial Belanda juga mulai menerapkan kebijakan baru di kampung-kampung Gayo, Aceh.

Warga kampung Gayo yang sebelumnya bekerja menggunakan sistem pertanian tradisional pun mulai diperkenalkan dengan tanaman perkebunan modern.

Sejak tahun 1910-an, orang Gayo di Aceh Tengah mulai mengenal komoditas-komoditas baru, seperti perkebunan sawit dan karet.

Selain itu, Belanda juga membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 hektar pada 1918 di kawasan Belang Gele (sekarang masuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah).

Dua tahun setelahnya, tahun 1920-an, muncul perkampungan baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi milik Belanda.

Didorong dengan tumbuhnya tanaman kopi saat itu membuat rakyat Indonesia ingin memiliki perkebunan kopinya sendiri.

Oleh sebab itu, sepanjang tahun 1925 hingga 1930, rakyat Gayo mulai membuka lahan baru untuk perkebunan kopi milik rakyat.

Pada akhir tahun 1930-an, telah berdiri empat buah kampung baru di sekitar perkebunan kopi Belanda di Belang Gele, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng.

Ketika Belanda memperkenalkan kopi ke daerah Gayo, barulah saat itu masyarakat Gayo mengenal Kopi Gayo sebagai salah satu jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil buah.

Banyak bukti-bukti peninggalan sejarah yang menegaskan bahwa Belanda pernah mengembangkan kopi di Dataran Tinggi Gayo.

Bukti peninggalan sejarah tersebut berupa lahan perkebunan dan para pekerja perkebunan yang dibawa dari Pulau Jawa.

Pasalnya, sampai saat ini, para pekerja tersebut masih tinggal di Dataran Tinggi Gayo dan sudah berasimilasi dengan suku Gayo.

Pasca-kemerdekaan

Setelah Belanda hengkang akibat kedatangan Jepang ke Indonesia, pengelolaan perkebunan kopi Belang Gele beralih kepada Jepang.

Selama pendudukan Jepang, tidak banyak hal yang berubah terkait perkebunan kopi di Gayo.

Barulah setelah Jepang pergi, perkebunan kopi Belang Gele dikelola oleh pemerintah daerah.

Pemerintah daerah kemudian menyerahkan pengelolaan perkebunan Belang Gele kepada seorang pengusaha asal Bireuen yang bernama Nyak Mahmud.

Pasalnya, Nyak Mahmud mengelola perkebunan tersebut hingga sebelum tahun 1964.

Bukti pengembangan kopi di Indonesia

Salah satu bukti purbakala yang berkaitan dengan pengembangan kopi di Indonesia adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Masjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh.

Bekas pabrik pengeringan kopi itu dibangun di atas lahan berukuran 110 m x 60 m, yang sebagian lahannya kini dijadikan sebagai lahan Pesantren Terpadu Darul Aini.

Pada lahan itu terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pabrik itu pernah terlantar.

Kemudian, pada 1960-an hingga tahun 1979, pabrik itu dikelola oleh PNP I, yang kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Alas Helau.

Kini, pabrik itu dikelola Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah.

Referensi:

  • Khalisuddin. Agung Suryo Setyantoro. dkk. (2012). Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo. Banda Aceh: BPNB Banda Aceh.
 

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/27/060000879/sejarah-kopi-di-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke