Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian I)

Itulah yang terjadi pada sosok Kartini, tokoh emansipasi ini memiliki pikiran revolusioner setelah bersentuhan dengan literasi. Buku-buku yang dibacanya telah mengubah dirinya menjadi manusia baru di tanah Jawa.

Ia menyeru dan memperjuangkan emansipasi supaya wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam memaknai dunia.

Berbeda dengan revolusi yang dilakukan oleh lelaki yang sering kali berdarah-darah, dibarengi dentuman senjata, teriakan ajakan perang, dan hingar-bingar jargon heroik yang diikuti oleh erangan meregang nyawa dan jeritan kesakitan para korban.

Residu revolusi biasanya berupa dendam dan amarah yang tersimpan untuk dimuntahkan kembali berupa dendam yang diwarisi sampai bergenerasi. Tapi, revolusi yang dilakukan Kartini adalah revolusi sunyi melalui jalan literasi.

Kartini melakukan perjuangan dan pemberontakan terhadap adat dan budaya feodalisme dalam masyarakat Jawa, di mana kedukan seorang perempuan masih di bawah dominasi laki-laki.

Agama dijadikan alat untuk mempertahan hegemoni laki-laki atau menindas perempuan. Alat perjuangan yang digunakan oleh Kartini hanya satu, yaitu senjata literasi.

Tulisan ini seluruhnya bersumber pada buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duiternis Tot Licht) karya R.A. Kartini terbitan Narasi tahun 2018.

Pada waktu itu, Kartini menganggap semua laki-laki Jawa jahil kecuali bapaknya sendiri. Dalam usia yang masih muda, Kartini sudah memiliki pikiran dan obsesi besar untuk melakukan perubahan sosial terutama mengangkat derajat kaum perempuan yang masih tertindas dan terpinggirkan.

Kartini adalah kutu buku yang gemar sekali membaca, kesenangannya membaca sudah mendarah daging dalam hidupnya.

Kartini didewasakan oleh buku-buku yang dibacanya. “Dalam lemari kami, ketahuilah jika tiga dari empat papan di dalamnya penuh dengan buku.”

Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau surat kabar. Ia membaca semua yang tertangkap oleh bola matanya.

Ia melahap semua bacaan. Banyak sekali buku yang dinikmatinya, buku yang dianggapnya bagus dan memesona dapat melupakan semua kepedihan dalam hidupnya.

Ide-ide besar, tabiat-tabiat baik, pendangan hidup mulia, jiwa dan pikiran besar yang dituangkan oleh para pengarang membuat hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena jiwanya ikut terbakar. Ia menghayati sepenuhnya semua yang dibacanya.

Kartini adalah perempuan jenius dan luar biasa karena pada waktu itu mayoritas pribumi masih buta huruf terlebih perempuan.

Namun walaupun demikian, Kartini mengakui bahwa tidak selalu mengerti apa yang dibacanya, namun tidak pernah putus asa. Dan yang dia lakukan adalah membaca ulang sampai dua, tiga, bahkan empat kali untuk memahaminya.

Kegembiraanya memuncak jika ternyata bacaan itu tidak hanya memberinya kenikmatan, tetapi juga pelajaran yang tidak terhingga banyaknya.

Jika tidak ada buku-buku, ia pasti binasa oleh berbagai kesedihan yang amat berat menekan jiwanya dan kehidupanya yang masih muda. Buku-buku memberinya makan untuk pikirannya yang senantiasa lapar dan jiwanya yang senantiasa bergelora.

Kartini bukan saja membaca masalah feminisme, akan tetapi melahap semua bacaan termasuk bidang militer, pendidikan, anak, kebudayaan, pertanian, dan sosial humaniora. Tidak kurang dari dua puluh judul buku yang dibahas dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini mendapatkan buku-buku kiriman dari teman koresponsensinya terutama dari R.M. Abendanon.

Bila hatinya sedang bersedih, ia hanya dapat menemukan hiburan dari sahabatnya yang tak bergerak, yaitu buku-buku. Kartini membaca bukan hanya sekadar pelipur lara, akan tetapi ia juga manganalisis setiap buku yang dibacanya.

Novel yang sangat disukai Kartini adalah Max Havelaar, yang kata Pramoedya Ananta Toer novel ini telah membunuh kolonialisme.

Novel ini mengisahkan kerja sama antara kolonial dangan para bangsawan atau pejabat pribumi dalam menjajah dan memeras pribumi, yang terkadang pejabat pribumi lebih kejam daripada para pejabat Belanda.

Latarnya adalah kisah kasih antara gadis yang bernama Saidjah dan pemuda yang bernama Adinda di daerah Lebak Banten.

Kartini menulis dengan hatinya daripada dengan pikirannya. Kata-katanya adalah gelora jiwanya. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan curahan hati yang penuh perasaan.

Dia menulis mengalir deras bagaikan air yang jebol dari bendungan karena “Semboyan saya adalah Saya Mau! Saya mau akan mendorong kita ke puncak gunung.”

Kartini begitu piawai dalam memilih kata untuk menggambarkan perasaan atau suasana batin maupun dalam meggambarkan lingkungan dan suasana.

Hal ini sangat sesuai dengan cita-cita Katini yang ingin menjadi sastrawan. “Kamu tahu kegemaran saya terhadap kesusastraan, dan tentu tahu juga bahwa saya berita-cita menjadi pengarang yang berpengaruh.” (hal. 184).

”Teman kami ingin melihat saya bekerja dengan pena saya untuk menaikkan derajat bangsa kita. Saya harus menerbitkan majalah atau sejenisnya, yang membela kepentingan rakyat dan saya sebagai pemimpin redaksinya.” (hal. 197)

Cita-cita besar Kartini ada dua, yaitu sebagai sastrawan dan guru. Namun ia sangat pesimistis cita-cita kedua karena dalam benaknya seorang guru haruslah sempurna, tidak hanya sebagai pengasah pikiran, tetapi juga sebagai pembentuk budi pekerti.

Kartini sangat menyadari bahwa bahasa adalah alat untuk mencari ilmu pengetahuan terlebih pada zaman itu belum banyak buku ter jemahan.

“Saya bersemangat untuk belajar bahasa bukan hanya untuk bicara dalam bahasa itu melainkan supaya saya dapat membaca karya para pengarang asing yang bagus dalam bahasa aslinya. Membaca karya-karya bagus adalah kenikmatan kami yang utama. Kalau saya mengusasi bahasa Belanda dengan baik, hari depan saya terjamin, lapangan kerja yang luas akan terbentang, dan saya akan mejadi anak manusia bebas. Saya hendak menekuni bahasa Belanda, menguasainya dengan sempurna agar saya dapat berbuat dengan bahasa itu semau saya. Dan saya akan mencoba dengan pena saya menumbuhkan perhatian mereka, yang dapat memberi bantuan dalam usaha kami untuk memperbaiki nasib perempuan Jawa.” Begitulah alasan-alasan Kartini yang saya kumpulkan dari bukunya.

Kartini juga paham bahwa ada unsur kesengajaan dari penguasa untuk menjadikan rakyat tetap bodoh karena “saya kira pemerintah berpendapat bahwa jika rakyat belajar, mereka tidak mau lagi mengerjakan tanah. Padahal merintangi kemajuan rakyat kiranya sama juga dengan perbuatan Czar, yang mengkhotbahkan perdamaian dunia, sedangkan ia sendiri menginjak-injak hak rakyatnya dengan kakinya. Oh sekarang saya mengerti mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan ia tidak akan lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.”

Darahnya sering mendidih karena apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan idealisme yang dibangun dari pemikiran Barat yang dibaca dari buku, majalah, surat kabar, dan surat-surat dari teman-temannya bangsa Belanda yang meresap sampai lubuk hatinya.

“Amboi! Alangkah besarnya pengaruh kebangsawanan pikiran dan budi, sehingga perubahan besar dalam kehidupan manusia dapat diwujudkan dalam waktu beberapa jam saja olehnya.” (hal. 57).

Akan tetapi di waktu lain dia pun mengatan, “Bodoh saya mengira bahwa kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai—bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti.“

Bersambung, baca artikel selanjutnya: Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian II - Habis)

https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/14/053000479/kartini-memperjuangkan-emansipasi-dengan-literasi-bagian-i

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke