Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

HAS Hanandjoeddin: Kehidupan dan Perjuangannya

Ia dipercaya menjadi komandan beberapa satuan pasukan dalam pertempuran tersebut.

Atas jasa-jasanya, nama HAS Hanandjoeddin kini diabadikan menjadi nama bandar udara internasional di Tanjung Pandan, Bangka Belitung.

Awal kehidupan

Haji Ahmad Sanusi Hanandjoeddin lahir di Tanjung Tikar, Bangka Belitung, pada 5 Agustus 1910.

Pada 1931, ia menempuh pendidikan di Ambacht School (Sekolah Pertukangan) di Manggar, Bangka Belitung.

Setelah lulus, Hanandjoeddin ditetapkan sebagai karyawan teknik dan ditugaskan di perusahaan Belanda, Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB).

Dari GMB, kariernya kemudian berlanjut ke salah satu perusahaan Belanda juga, yaitu Naamloze Venootschap Indische Bauxit Exploitatie Maatschappij (NV NIBEM) di Pulau Bintan.

Namun, setelah dilakukan tanda tangan kontrak kerja di NIBEM, Hanandjoeddin ditarik kembali ke Belitung.

Setelah itu, ia pindah ke Bandung dan bekerja di Wolter&Co. Di kota inilah, Hanandjoeddin mulai merambah ke dunia politik dengan tergabung dalam Partai Indonesia Raya (Parindra).

Kiprah militer

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, HAS Hanandjoeddin pindah ke Malang dan tergabung dalam Ozawa Butai (Satuan Permukaan Darat Jepang), di mana ia dipercaya menjadi Hancho (pemimpin kelompok).

Setelah tiga tahun, Ozawa Butai dibubarkan seiring dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945.

Beberapa waktu setelah Indonesia merdeka, Kelompok Pemuda Bagian Udara yang dipimpin oleh HAS Hanandjoeddin bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Malang.

Kelompok ini kemudian berubah nama menjadi Divisi III Jawa Timur. Setelah itu, pada Oktober 1945, dibentuk BKR Udara (BKRO) Malang yang kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat.

Di BKRO Malang, HAS Hanandjoeddin diangkat sebagai pelaksana teknis lapangan, di mana ia bersama dengan teknisi lain mampu memperbaiki pesawat peninggalan Jepang, yaitu Cukiu 003 dan Cukiu 004.

Pasca-jatuhnya Surabaya ke tangan Sekutu pada 12 November 1945, Panglima Divisi III membuka sekolah militer yang berjalan selama dua bulan.

HAS Hanandjoeddin pun mengikuti sekolah tersebut dan lulus dengan pangkat Letnan Satu TKR Angkatan Darat.

Dengan pangkat barunya, HAS Hanandjoeddin ditugaskan sebagai Komandan Pertahanan Teknik Udara Pangkalan Bugis, pada Januari 1946.

Sebagai komandan, HAS Hanandjoeddin telah menyumbangkan beberapa keberhasilan, seperti memperbaiki pesawat pengebom Shoki (Ki-48) dan memberikan pesawat Cukiu kepada Sekolah Penerbangan Darurat Yogyakarta.

Setelah itu, pada 9 April 1946, HAS Hanandjoeddin diberi pangkat Opsir Muda III (Letnan Muda Udara) oleh Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.

Peran dalam Agresi Militer Belanda

Ketika meletus Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, HAS Hanandjoeddin dan anggota teknik lainnya berhasil menyelamatkan 15 pesawat terbang yang ada di Pangkalan Udara Bugis.

HAS Hanandjoeddin kemudian dipercaya untuk menjadi Komandan Pertempuran Sektor I STC III Front Malang Timur dan Komandan Pertempuran Sektor II.

Selama Agresi Militer Belanda I berlangsung, HAS Hanandjoeddin terus memperjuangkan Indonesia bersama dengan anak buahnya.

Sampai akhirnya, pada 17 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani. Sayangnya, dampak dari perjanjian ini adalah ditarik mundurnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Jawa Barat dan Jawa Timur.

Akibatnya, HAS Hanandjoeddin harus pindah dari Malang Timur ke Tulung Agung, di mana ia ditugaskan sebagai Komandan Detasemen Pertahanan Udara Prigi.

Saat sedang mengampu jabatan tersebut, HAS Hanandjoeddin kembali terjun ke medan pertempuran, ketika Agresi Militer Belanda II berlangsung pada 19 Desember 1948.

Sebagai komandan, HAS Hanandjoeddin memimpin pasukannya di Sektor Watulimo.

Untuk meghadapi serangan Belanda, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintah seluruh Angkatan Perang RI untuk melakukan perang gerilya.

HAS Hanandjoeddin dipercaya menjadi Komandan Onder Distrik Militer Pakel hingga Agresi Militer Belanda II berakhir pada 20 Desember 1948.

Setelah dilangsungkan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Pangkalan Udara Bugis Malang diserahkan dari Belanda kepada Angkatan Udara RI (AURI).

Setelah itu, HAS Hanandjoeddin pun kembali ke Malang dan menjabat sebagai Kepala Jawatan Teknik Udara Pangkalan Udara Bugis.

Wafat

Ketika peperangan melawan bangsa penjajah usai, HAS Hanandjoeddin sempat menjabat sebagai Bupati Belitung sejak 1967 hingga 1972.

HAS Hanandjoeddin kemudian meninggal pada 5 Februari 1995 dan disemayamkan di kota kelahirannya.

Untuk mengenang jasanya, namanya kemudian diabadikan menjadi nama Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan.

Referensi:

  • Andersen, Haril M. (2015). Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan HAS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI. Bangka Belitung: Tanjungpandan Yayasan Melati.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/10/090000379/has-hanandjoeddin-kehidupan-dan-perjuangannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke