Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dampak Dikeluarkannya Supersemar

Supersemar sendiri merupakan tonggak awal yang melahirkan era Orde Baru. 

Lewat Supersemar, Soekarno menyerahkan mandatnya sebagai Presiden Indonesia kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto.

Penyerahan mandat kekuasaan ini dilatarbelakangi oleh gejolak dalam negeri pasca-G30S pada 1 Oktober 1965.

Pengukuhan Supersemar oleh MPRS dalam Sidang Tahun 1996 tertuang dalam Tap No. IX/MPRS/1966. 

Lantas, apa dampak dari dikeluarkannya Supersemar?

Latar belakang Supersemar

Pada Oktober 1965, demokrasi terpimpin Soekarno mulai melemah akibat peristiwa G30S yang terjadi pada 1 Oktober 1965. 

Tentara menuding bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi dalang di balik peristiwa pembunuhan tujuh jenderal tersebut. 

Tudingan tersebut lantas memicu amarah dari para pemuda antikomunis. Akhir Oktober 1965, para mahasiswa memprotes Soekarno yang tidak bertindak apa-apa terhadap peristiwa G30S. 

Tindakan Soekarno yang cenderung mengabaikan suara rakyat mengakibatkan semakin kencangnya aksi unjuk rasa. 

Puncak kejadian pada 11 Maret 1966, saat terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa.

Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik tersebut jika ia diberi kepercayaan.

Permintaan ini segera ditanggapi dan pada 11 Maret 1966 di Istana Bogor, Presiden Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan. 

Surat itu disebut Surat Perintah Sebelas 11 Maret atau Supersemar. 

Dampak Supersemar

Supersemar memiliki dampak atau pengaruh luar biasa. Sesaat setelah surat perintah ini dikeluarkan, posisi Soekarno sebagai Presiden RI kian tergerus, sementara posisi Letjen Soeharto semakin menguat.

Hal ini disebabkan oleh terjadinya dualisme kekuasaan dalam tubuh pemerintahan, yakni Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai pelaksana segala tindakan pemerintah.

Dengan memiliki pegangan Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan menangkap para menteri yang diduga terlibat dalam G30S. 

Selain itu, setelah Supersemar dikeluarkan, kebijakan luar negeri Indonesia juga berubah menjadi mendukung negara-negara Barat seperti Amerika Serikat. 

Hal tersebut dapat dilihat dari menguatnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan normalisasi hubungan antara Indonesia dengan Malaysia.

Padahal sebelumnya, Soekarno menganggap Malaysia sebagai antek-antek Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).

Selain itu, Indonesia yang sebelumnya juga sempat keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan kembali bergabung lagi dalam keanggotaan PBB. 

Kemudian pada 20 Juni-5 Juli 1996, MPRS mengadakan Sidang Umum yang dipimpin oleh AH Nasution. 

Sidang tersebut menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat Supersemar. 

Pengukuhan Supersemar oleh MPRS dalam Sidang tahun 1996 tertuang dalam Tap No. IX/MPRS/1966 berisi pengukuhan Supersemar sehingga Presiden Soekarno tidak dapat mencabutnya.

MPRS juga menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Pidato Nawaksara) yang disampaikan pada 22 Juni 1966.

Status Soekarno yang menjabat pesiden selama seumur hidup pun akhirnya dicabut oleh MPRS pada 7 Maret 1967.

Lewat Sidang MPRS, Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968. Adanya Supersemar kemudian menjadi faktor kuat bagi Soeharto untuk membangun rezim Orde Baru yang bertahan hingga 1998.

Referensi: 

  • Hanafi, A.M. (1999). Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar. Jakarta: Yayasan API.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/03/100000979/dampak-dikeluarkannya-supersemar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke