Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Janji November Belofte 1918

Dalam pidato tersebut Stirum menjanjikan adanya pembaruan pemerintah kolonial Hindia Belanda, salah satunya dengan mengubah struktur pemerintahannya. 

Janji tersebut dilontarkan karena dorongan dari kondisi perekonomian di Hindia Belanda pasca-Perang Dunia I. 

Setelah janji dibuat, kondisi perekonomian sempat membaik, di mana jumlah ekspor telah meningkat pesat. 

Namun, semenjak pergantian kepemimpinan Gubernur Jenderal Fock, kondisi ekonomi kembali carut-marut. 

Golongan Eropa jauh lebih berkuasa dibanding pribumi, sehingga jarak taraf kehidupan di antara keduanya semakin jauh. 

Latar belakang

Pada akhir Perang Dunia I, kegagalan Politik Etis telah tampak jelas terlihat. Kegagalan dibuktikan dengan timbulnya bencana kelaparan dan kemiskinan. 

Pada saat itu, perbedaan antara masyarakat Eropa dengan pribumi sangat terlihat mencolok. 

Perusahaan Eropa mengalami kemajuan pesat yang disebabkan oleh banyaknya permintaan akan produksi Hindia Belanda di pasar dunia. 

Untuk dapat mengatasi persaingan tersebut, maka pemerintah diminta untuk tidak menghalang-halangi perusahaan mereka. 

Di mana saat itu, usaha mereka untuk membantu rakyat pribumi hanya dapat dijalankan oleh pengusaha di daerah-daerah yang mempunyai lahan kebun. 

Berawal dari sini, aksi pemberontakan mulai terjadi, seperti pemberontakan petani di Jambi (1916), Cimareme (1918), dan pemberontakan lainnya.

Lalu, 18 November 1918, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum berpidato di depan Volksraad (Dewan Rakyat), di mana ia menjanjikan perubahan besar dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Gubernur Jenderal van Limburg Stirum sendiri dikenal sebagai tokoh yang bersikap sangat toleran terhadap perkembangan di Indonesia. 

Janji tersebut dijadikan sebagai bentuk upaya untuk meredakan gejolak dari para massa yang tengah terjadi, serta untuk memperbaiki kondisi perekonomian Hindia Belanda.

Janji ini disebut Janji November Belofte.

Kegagalan

Janji yang dilakukan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum memicu reaksi di negeri Belanda, karena janji tersebut dianggap tidak tepat oleh Idenburg, Menteri Jajahan.

Kendati demikian, pasca-perang, ekonomi telah bergerak sangat maju serta ekspor juga meningkat. 

Tugas utama pemerintah waktu itu ialah menunjukkan kepada rakyat bahwa penduduk di daerah jajahan wajib membuka tanahnya bagi ekonomi dunia. 

Hindia Belanda harus berdiri sendiri dan berusaha menambah produksinya, baik dari perusahaan maupun penduduk.

Akan tetapi, sejak pergantian jabatan ke tangan Gubernur Jenderal Fock, yang sifatnya reaksioner, kondisi perekonomian pribumi semakin menurun, sedangkan Eropa meningkat.

Tahun 1920, kepentingan ekonomi golongan Barat semakin berkuasa terutama masalah upah dan kontrak tanah.

Masalah upah dan kontrak tanah pada masa kepemimpinan Fock tidak mudah diubah untuk kepentingan pribumi. 

Akibatnya, jarak taraf kehidupan antara kaum pribumi dengan golongan Eropa semakin jauh. 

Referensi: 

  • Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. (2019). Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (1900-1942). Jakarta: Balai Pustaka.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/17/120000779/sejarah-janji-november-belofte-1918

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke