Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya

Ia merupakan pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948.

Tan Malaka bersama pengikutnya meninggal dunia setelah ditangkap di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Di sana mereka dieksekusi dengan cara ditembak mati. 

Meski sosoknya kontroversial, Tan Malaka memberi banyak sumbangsih bagi bangsa Indonesia.

Atas jasanya, ia pun mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani Presiden Soekarno. 

Masa Muda

Tan Malaka memiliki nama asli Ibrahim. Nama Tan Malaka sendiri adalah nama semi-bangsawan yang ia dapat dari sang ibu. 

Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. 

Tan Malaka lahir pada 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. 

Pada tahun 1908, ia didaftarkan di sekolah Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. 

Di sekolah, Tan merupakan salah satu murid yang cerdas, sehingga gurunya, GH Horensma mengusulkan pada Tan untuk melanjutkan pendidikannya di Belanda. 

Selama duduk di bangku sekolah, Tan juga sangat menikmati pelajaran bahasa Belanda.

Pendidikan di Belanda

Pada Oktober 1913, ia belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah). 

Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan semakin meningkat setelah membawa buku de Fransche Revolutie. 

Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia pun mulai tertarik untuk mempelajari tentang Sosialisme dan Komunisme. 

Ia pun semakin memperdalam ilmunya tentang kedua hal tersebut. 

Tan mulai sering membaca buku-buku karya Karl Max, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin yang banyak membahas tentang Sosialisme dan Komunisme. 

Sejak saat itulah, Tan mulai membenci budaya Belanda dan justru terkesima dengan masyarakat Amerika dan Jerman. 

Tan tertarik mendaftar ke militer Jerman, namun ditolak, karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Kemudian, Tan bertemu dengan Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (ISDV).

ISDV adalah organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. 

Tan pun tertarik dengan tawaran Henk yang mengajaknya bergabung dalam Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV), Asosiasi Demokratik Sosial Guru. 

Sarekat Islam dan PKI 

Setelah selesai pendidikan di Belanda, Tan Malaka kembali ke Indonesia.

Ia mendapat tugas untuk membuat sistem pendidikan untuk anak-anak kuli di Perusahaan Senembah, Deli.

Selama berada di Deli, ia mulai membangun hubungan dengan tokoh-tokoh politik PKI di Jawa untuk melakukan gerakan revolusioner. 

Oleh karena itu, setelah tidak lagi memungkinkan baginya bekerja di Deli, Tan memilih untuk kembali ke Jawa dan bergabung bersama teman-teman sealirannya. 

Pada bulan Oktober 1921, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, Semaun, pergi dari Indonesia untuk mewakili PKI pada Kongres Bangsa-Bangsa Timur di Rusia.

Tan Malaka pun akhirnya dipaksa untuk menjadi pemimpin PKI.

Pada Desember 1921, dilangsungkan kongres dan mengangkat Tan Malaka sebagai ketua partai. 

Sebelum menjadi ketua PKI, Tan Malaka sudah memiliki tugas lebih dulu untuk menyelesaikan perbedaan yang terjadi dalam Sarekat Islam (SI). 

Perbedaan ini terjadi antara kelompok berhaluan Islam dipimpin oleh Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis.

Ketiganya berasal dari Central Sarekat Islam (CSI) di Yogyakarta.

Dan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Tan Malaka, Semaun, dan Darsono berasal dari SI Semarang.

Bagi Tan Malaka sendiri perpecahan ini terjadi karena persoalan pribadi yang prinsipil, bukan mengenai prinsip organisasi.

Dalam kongres, Tan Malaka menyampaikan soal sistem kapitalisme di berbagai negara dan Hindia Belanda.

Sistem tersebut telah memberikan penderitaan bagi rakyat, sehingga cara untuk memperbaiki hal itu adalah dengan bersatu. 

Penyampaian Tan Malaka yang tegas ini ternyata mampu menggugah orang-orang yang hadir dalam kongres tersebut.

Peran Tan Malaka dalam kongres ini rupanya besar. 

Terlihat pasca kongres, banyak orang yang kemudian tertarik dengan PKI, sehingga beberapa cabang partai pun didirikan. 

Pemogokan

Setelah Tan lulus pada November 1919, ia kembali ke Indonesia dan mulai mendukung pergerakan doktrin komunis. 

Terlebih, di tahun berikutnya, ia berusaha mengubah pemogokan pegawai pegadaian pemerintah menjadi pemogokan umum. Namun, usahanya gagal. 

Pejabat Belanda pun memerintahkannya untuk meninggalkan Hindia Belanda. 

Pada 1922, Tan Malaka mewakili Indonesia dalam Kongres Keempat Komintern (Komunis Internasional). 

Di kongres tersebut ia ditunjuk sebagai agen Komitmen untuk Asia Tenggara dan Australia. 

Lalu, pada 1926, ia menentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Atas hal itu, Tan pun disalahkan oleh pendukungnya, karena gagalnya pemberontakan. 

Tahun selanjutnya, Tan mengerahkan sebuah kelompok di Bangkok yang disebut Partai Republik Indonesia. 

Tujuan partai ini adalah untuk mengembangkan kader bawah tanah yang akan bekerja di Indonesia. 

Partai ini hanya memperoleh sedikit keberhasilan yang terlihat dalam melemahkan pemerintah kolonial. 

Pada 1944, Tan kembali ke Jawa saat pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. 

Gerilya Pembela Proklamasi

Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri atau komunis. 

Kemudian, pada 1946, ia membentuk koalisi Persatuan Perjuangan untuk menentang setiap diplomasi dengan Belanda. 

Koalisi ini disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. 

Karena kejadian itu, Tan pun dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. 

Pada September 1948, terjadi pemberontakan FDR/PKI di Madiun dipimpin oleh Musso dan Amir Sjarifuddin. 

Saat pemberontakan tersebut terjadi, Tan dikeluarkan begitu saja dari penjara. 

Pertempuran pun dapat ditumpas pada akhir November 1948. 

Tan Malaka menuju ke Kediri untuk mengumpulkan sisa-sisa pemberontak FDR/PKI dan membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. 

Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) 

Partai Murba adalah partai politik yang berdiri pada 7 November 1948. Partai ini didirikan oleh Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarno, dan Adam Malik. 

Pada tahun 1971, partai ini mengikuti pemilu, namun dilebur dalam Partai Demokrasi Indonesia. 

Tujuan dari Partai Murba yaitu untuk mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan 100% bagi republik dan rakyat sesuai dengan dasar dan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945 menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Dari tujuan ini sudah jelas terlihat semangat nasionalisema yang begitu kuat di dalamnya, berbeda dengan PKI. 

Maka tak heran jika Tan Malaka dianggap sebagai pemimpin komunis nasionalis. 

Penangkapan

Sebelum terjadi serangan umum kedua Belanda, pada 12 November, Tan Malaka pergi meninggalkan Yogyakarta.

Ia pergi bersama dengan kawalan Laskar Rakyat Jawa Barat dan Barisan Banteng menuju Kediri. 

Kehadiran Tan Malaka di Kediri mendapat sambutan baik dari rakyat di sana.

Pada 21 Desember, Tan Malaka menyampaikan pidatonya yang berisikan seruan kepada rakyat agar tidak percaya pada kaum imperialis Barat, tidak perlu melakukan perundingan, dan kemerdekaan akan diraih hanya dengan mengangkat senjata dan mengalahkan musuh.

Mendengar pidato tersebut, lawan-lawan politiknya mulai curiga terhadap Tan.

Mereka menuduh bahwa Tan sedang berusaha untuk melakukan pemberontakan dengan mengambil simpati rakyat.

Pihak militer dari kubu pemerintah di Jawa Timur juga merasa tidak senang dengan seruannya mengenai tidak perlu ada perundingan dan memilih jalan perang.

Beberapa pihak militer bahkan menyebarkan isu bahwa Tan Malaka akan membentuk Republik Murba.

Saat Belanda menyerang Kediri dan berhasil menguasai kota tersebut, Tan yang dikawal Mayor Sabarudin, sedang bergerilya dan berada di suatu daerah di barat Sungai Brantas.

Tanpa diketahui, di daerah itu juga terdapat markas Divisi I/Gubernur Militer Jawa Timur di bawah Panglima Divisi Kolonel Sungkono.

Tan pun ditangkap oleh militer Divisi I. Setelah ditangkap, Tan Malaka dieksekusi dengan ditembak mati di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. 

Penghargaan

Pada 28 Maret 1963, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno, Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. 

Pada 21 Februari 2017, secara simbolis jenazah Tan Malaka dipindahkan dari Kediri ke Sumatera Barat, yakni dengan membawa tanah dari pekuburan Tan Malaka.

Hal tersebut dilakukan oleh keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute. 

Referensi: 

  • Rahman, Masykur Arif. (2018). Tan Malaka Sebuah Biografi Lengkap. Jakarta: Laksana. 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/12/163657379/tan-malaka-masa-muda-perjuangan-peran-dan-akhir-hidupnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke