Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara hingga Hindia Belanda

Kompas.com - 22/02/2021, 08:43 WIB
Vanya Karunia Mulia Putri ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Banjir Jakarta pada 1872

Banjir kembali melanda Batavia pada 1872, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal James Louden. Penyebabnya sama, yakni hujan deras dan luapan air sungai.

Kanal kembali tidak bekerja, karena selalu tersumbat sampah, tanah, lumpur dan pasir. Upaya pembersihan kanal sering dilakukan, namun tetap tidak membantu karena kotoran lumpur yang dibersihkan tetap dibiarkan menumpuk di tepi kanal.

Banjir Jakarta pada 1893

Batavia kembali dilanda banjir pada 1893, tepatnya saat Gubernur Jenderal Carel HA van der Wijck memimpin. Penyebabnya yakni curah hujan yang sangat tinggi.

Banjir besar yang melanda Batavia saat itu awalnya hanya menggenangi beberapa daerah saja. Namun, hujan terus mengguyur hingga hampir seluruh daerah Batavia tergenang banjir.

Bencana banjir yang hampir melanda sebulan penuh ini telah merenggut banyak korban jiwa. Karena banyak warga Batavia yang terserang penyakit, seperti disentri, tifus bahkan malaria.

Penyebab utamanya adalah air sumur yang tercemar dan sama sekali tidak layak konsumsi serta berkembang biaknya nyamuk anopheles.

Banjir Jakarta pada 1909

Curah hujan tinggi selalu menjadi penyebab utama Batavia dilanda banjir. Saat itu, Gubernur Jenderal Idenburg dan Belanda tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir ini.

Baca juga: Penyebab Banjir di Indonesia

Pada 1911, Belanda membangun pintu air besar, yaitu Bendung Katulampa di Bogor. Tujuannya supaya bisa mengukur debit air Kali Ciliwung. Pembangunan pintu air besar ini merupakan sistem peringatan dini yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan banjir.

Banjir Jakarta pada 1918

Banjir Jakarta pada 1918 menjadi banjir terparah selama sembilan tahun terakhir. Selama berhari-hari hujan terus mengguyur Batavia. Akibatnya hampir seluruh rumah di Batavia terendam banjir.

Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum dan pejabat Belanda lagi-lagi tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir ini. Kanal tetap tidak berfungsi baik karena selalu tersumbat sampah, lumpur dan tanah.

Mengutip dari Masalah Banjir di Batavia Abad XIX (2003), permasalahan banjir di Batavia pertama kali ditangani secara sistematik pada pertengahan tahun 1920.

Saat itu, di Bogor banyak hutan yang dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan teh. Sehingga hal ini dikhawatirkan akan menambah dampak banjir di Batavia kala itu.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal tersebut dibuatlah rencana van Breen atau perbaikan tata-air-ibukota Batavia. Rencana ini merupakan strategi untuk mengendalikan air di Batavia.

Secara garis besar, rencana ini lebih diarahkan pada tata lingkungan kota di daerah terbangun. Rencana ini juga dikatkan dengan wacana pembuangan air dan kotoran dari wilayah permukiman yang saat itu sedang dibangun, yakni daerah Menteng.

Inti dari rencana van Breen ialah membuat terusan baru yang posisinya melintang ke arah alur sungai di wilayah Batavia, yaitu timur barat di penempatan alur. Hal ini lebih dikenal dengan istilah transversal channel.

Pada 1922, juga disusun rencana perbaikan kampung atau Kamppongverbeetering. Namun, rencana ini tidak berjalan lancar karena minimnya alokasi dana.

Banjir Jakarta pada 1932

Banjir terparah kedua setelah 1918 terjadi pada 1932, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge.

Selain menjadi banjir terparah kedua, banjir kali ini juga banyak disorot oleh media cetak. Salah satunya surat kabar The Orient yang memberitakan banjir di Jalan Sabang. Karena merupakan pusat pertokoan dan lokasi nongkrong anak muda Batavia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com