Raffles menerapkan landelijk stelsel atau sistem sewa tanah untuk menggantikan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh VOC.
Dalam jurnal yang berjudul Kelas Sosial dalam Sistem Landeliijk Stelsel Masa Raffles (1811-1816) (2018) karangan Aah Syafaah, disebutkan jika sistem sewa tanah tersebut dilakukan dengan menetapkan pajak tanah kepada petani, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang diinginkan.
Seorang penyewa atau ryot dibebaskan untuk memilih jenis tanaman apa yang akan ditanam selama masa jangka waktu sewa tanah diberlakukan. Penyewa membayar kepada tuan tanah atau zemindar sebagai bentuk sewa tanah. Kemudian tuan tanah berkewajiban untuk membayar pajak ke pemerintah.
Dalam sistem sewa tanah, Raffles membagi tanah menjadi tiga kelas, yakni:
Baca juga: Palaksanaan Tanam Paksa di Indonesia
Namun, penerapan sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Salah satunya karena sistem landelijk stelsel ini belum banyak diketahui masyarakat Pulau Jawa, contohnya Sunda.
Selain itu, sebagian besar Pulau Jawa khususnya distrik timur dan tengah belum mengenal sistem perjanjian tanah antara penguasa lokal dengan petani.
Bentuk kegagalan lainnya adalah banyak petani yang tidak membayar sewa kepada zemindar. Bahkan banyak tanah yang justru dikuasai oleh para penguasa lokal.
Oleh karena Raffles melihat adanya kegagalan dalam penerapan sistem ini, ia membuat sistem baru yang dianggap lebih memihak petani.
Raffles mengubah status petani menjadi penyewa tanah melalui perjanjian kontrak antara petani dengan pemilik lahan. Sistem sewa tanah oleh Raffles ini berlaku hingga 1830.
Jika dirangkum, berikut beberapa faktor penyebab kegagalan penerapan sistem tanam paksa atau sistem sewa tanah oleh Raffles, yakni: