KOMPAS.com - Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki beragam adat dan budaya.
Pada aspek kebudayaan, Bali memiliki beberapa jenis tari yang menjadi ciri khas di wilayah pulau Dewata, julukan Bali.
Salah satu tari yang ada di Bali adalah tari Legong. Tari Legong merupakan tarian tradisional Bali yang memiliki gerakan kompleks berupa perpaduan antara gerakan penari dengan iringan musik gamelan.
Dikutip dari buku Bali: Bali dan Sekitarnya (2012) karya Dayat Suryana, Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tubuh pengiring yang konon merupakan pengaruh gambuh.
Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya luwes atau elastis dan kemudian diartikan sebagai gerakan lemah gemulai. Selanjutnya kata "gong" yang memiliki arti gamelan.
Baca juga: Tari Gandrung, Tari Tradisional Masyarakat Lombok
Dengan demikian Legong mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang menggiringnya. Gamelan yang dipakai untuk mengiring tari Legong dinamakan Gamelan Semar Pagulinga.
Tari Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19.
Konon, ide tari tersebut diawali oleh seorang pangeran dari Sukawati dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai. Di mana diiringi gamelan yang indah.
Saat pangeran pulih, mimpinya tersebut kemudian dituangkan dalam tarian dengan gamelan lengkap.
Awalnya, penari Legong yang baku merupakan dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton.
Kedua penari tersebut dinamakan legong, yang mana saat menari selalu dilengkapi kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.
Baca juga: Biografi Sisingamangaraja XII, Pahlawan dari Sumatera Utara
Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran tari Legong, dari dari istana ke desa.
Dilansir dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya.
Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk dan menyebar dibeberapa daerah di Bali, khususnya di daerah Gianyar dan Badung.
Pada perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, tapi menjadi milik masyarakat umum.
Bahkan pengaruh istana semakin lama semakin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908.
Beberapa gerakan diubah, ada yang ditambah dan ada yang dikurangi dan tak lagi memakai topeng. Sehingga tari legong yang dinikmati sekarang berbeda dengan tari legong pada awal mulanya.
Baca juga: Myanmar, Satu-satunya Negara Asia Tenggara yang Punya Iklim Subtropis
Tari legong tidak lagi sebagai manisfestasi dari leluhur seperti halnya tari-tari Sang Hyang, namun dipertunjukkan untuk hiburan para leluhur dan tidak untuk ritual adat.
Dikutip dari buku Evolusi Tari Bali (1996) karya I Made Bandem, bahwa tari legong tidak pernah tertulis dalam beberapa lontar sejarah Bali. Namun tari ini amat terkenal di lingkup puri karena dipopulerkan oleh para perangkat puri.
Beberapa elemen tari legong menyiratkan hubungannya dengan kepercayaan dan budaya Hindu Jawa.
Sekarang, di desa tari Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan.
Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit.
Awalnya Legong juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya. Namun, sekarang berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler.
Baca juga: Ras Mongoloid: Pengertian dan Ciri-Cirinya
Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson muanin oleg, dan ngipuk.
Sedangkan secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Keterampilan dalam membawakan tari Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.
Motif gerak tari Legong bermuara pada dasar gerak tari Gambuh, yang mana telah memiliki tata krama menari yang ketat.
Termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Selanjutnya Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang lainnya.
Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir.
Baca juga: Pangeran Antasari, Pejuang Perang Banjar
Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun.
Kemudian hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih
Ciri khas tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian menjadi hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.