Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Pribadi P.K. Ojong

KOMPAS - P.K. Ojong, salah satu pendiri Kompas, telah menjadi panutan bagi semua golongan.

Dilansir dari Hidup Sederhana Berpikir Mulia: P.K. Ojong (2014) karya Helen Ishwara, Petrus Kanisius Ojong lahir dengan nama Auw Jong Peng Koen.

Ia lahir pada 25 Juli 1920 di Bukittinggi, dari seorang ibu bernama Njo Loan Eng Nio dan ayah bernama Aue Jong Pauw.

Semasa kecil, Ojong sering dijuluki Si Kepala Gede. Hal ini karena Ojong sulit keluar dari ibunya karena kepalanya besar.

Setelah lahir, Ojong kemudian dibawa pulang ke rumah ayahnya di Jalan Lundang di Payakumbuh. Ojong memiliki tiga saudara kandung, satu adik perempuan dan dua adik laki-laki.

Pendidikan P.K. Ojong

Pada saat itu, sekolah dasar berbagasa pengantar Belanda dikotak-kotakkan menurut golongan. Ada Hollandsch Inlandsche School (HIS) untuk pribumi, Hollandsch Chineesche School (HCS) khusus anak-anak Tionghoa, dan Europeesche Legere School (ELS) untuk golongan Eropa.

Anak pemuka golongan pribumi, Tionghoa, atau Arab bisa diterima di ELS dengan jumlah yang sedikit. Bertepatan dengan Peng Koen atau Ojong masuk sekolah, dibuka sebuah HCS yang diasuh oleh biarawati-biarawati Franciscanes. Peng Koen pun belajar di sekolah tersebut.

Sejak sekolah, Ojong dikenal sebagai murid yang pandai dan tidak nakal. Bahkan dirinya dinilai sangat disiplin dan memiliki kemauan yang keras.

Karena ingin meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah setingkat SMP) dan di Payukumbuh belum ada MULO, Ojong pindah sekolah ke Padang.

Hal ini supaya mudah meneruskan ke MULO Katolik yang diasuh oleh Frater Nicander dan Frater Servaas. Mulai kuartal II Kelas VII, Ojong pindah ke HCS Katolik di Padang yang letaknya sekompleks dengan MULO.

Kemudian menjadi murid Fraters MULO pada 1934-1937. Melanjutkan jenjang berikutnya di Sekolah Guru Atas Negeri di Jatinegara (1937-1940) dan lulusan April 1951 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1946-1951).

Terpikat senyuman Chaterine

Pertengahan 1947, dalam suatu acara pertemuan orang-orang muda, Ojong melihat seorang gadis yang senyumnya sangat manis. Ojong kemudian langsung terpikat.

Seorang teman Ojong yang mengenal gadis tersebut, kemudian memberitahu nama gasid itu, Chaterine. Gadis Magelang yang belum lama tinggal di Jakarta.

Ojong memang gigih dan tidak setengah-setengah kalau melaksanakan sesuatu, apalagi dalam usaha merebut hati gadis pujaannya.

Setelahmendapat restu dari orangtua Chaterine, mereka brtunangan resmi pada 4 April 1949 dan menikah di Catatan Sipil tanggal 6 Juli 1949. Ojong dan istrinya dikarunia enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan.

Dirinya sangat kesal ketika pohon-pohon di sepanjang Jalan Kebon Dirih, Jakarta ditebangi. Bahkan ketika aktif menulis di Kompasiana, dirinya sempat menulis dua artikel bertemakan pohon. 

Menjadi wartawan

Sekitar 1946, Ojong menjadi penulis lepas di Keng Po atau Star Weekly, sebuah majalah mingguan.

Namun karena Khoe Woen Sioe yang saat itu menjabat sebagai pendiri Star Weekly tertarik melihat sikap disiplin, rajin, teliti, berpengetahuan luas, dan semangat untuk maju di dalam diri Ojong.

Sehingga Ojong segera dijadiwkan wartawan Kengpo/Star Weekly. Karena kiprahnya yang santa luar biasa di jurnalistik, Ojong kemudian diangkat menjadi Redaktur Pelaksana Star Weekly.

Sembari menjadi wartawan, Ojong juga kuliah di Rechts Hoge School atau RHS (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum yang sejarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Salemba.

Semenjak saat itu, hari-hari Ojong sangat sibuk. Hari-harinya diisi dengan membaca dan mempelajarinya buku-buku ilmu hukum. Bahkan sampai adik-adiknya tak berani untuk mengajaknya bergurau. Hanya dengan sang ibu, Ojong bisa sesekali bercanda.

Pada 1961, Keng Po dan Star Weekly kemudian dibredel pada masa pemerintahan Sukarno. Setelah pembredelan itu, Ojong mendirikan PT Saka Widya yang bergerak di bidang penerbitan buku.

Menjabat sebagai direktur di PT Saka Widya, Ojong mulai bekerja sama dengan Jakoeb Oetama. Dua orang tersebut kemudian merintis sebuah majalah Intisari bersama Irawati dan J. Adisubrata.

Intisari berisi macam-macam tema terkait ilmu pengetahuan dan sejarah. Kemudian lahirlah Kompas pada 28 Juni 1965, dua tahun setelah Intisari berjalan.

Setelah koran dan majalah mereka punya nama, bisnis Ojong dan Jakoeb merambah ke bidang percetakan dengan berdirinya Gramedia Printing pada 1972.

Percetakan ini ditunjukan untuk mencetak terbitan mereka sendiri. Setelah percetakan, akhirnya penerbit Gramedia lahir pada 1974.

P.K. Ojong wafat pada 31 Mei 1980, tanpa didahului sakit yang menyiksa diri dan meninggal dengan benda kesayangannya, yaitu buku di sampingnya.

Untuk mengenang jasanya, patung Ojong didirikan di halaman Bentara Budaya Jakarta, suatu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.

 

https://www.kompas.com/skola/read/2020/07/25/080000069/mengenal-pribadi-pk-ojong

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke