Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Baru Ungkap Dampak Debu Asteroid pada Kepunahan Dinosaurus

Kompas.com - 03/11/2023, 06:33 WIB
Monika Novena,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sudah menjadi rahasia umum sekitar 66 juta tahun yang lalu, sebuah asteroid yang lebih besar dari Gunung Everest menghantam Bumi.

Kejadian itu memicu serangkaian bencana yang memusnahkan tiga perempat kehidupan di Bumi, termasuk dinosaurus.

Baca juga: Bagaimana Hiu Bertahan dari Dampak Asteroid yang Membunuh Dinosaurus?

Akan tetapi rincian lebih lanjut tentang bagaimana hal itu terjadi masih menjadi perdebatan.

Teori yang beredar adalah belerang akibat tumbukan asteroid menghalangi langit dan membawa dunia ke dalam musim dingin yang panjang dan gelap. Itu yang akhirnya menewaskan kehidupan di Bumi kecuali segelintir saja yang beruntung.

Namun penelitian baru yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience mengungkapkan hal lain.

Teori kepunahan dinosaurus

Mengutip Science Alert, Selasa (31/10/2023) penelitian baru berdasarkan partikel di situs fosil menemukan tumbukan asteroid ternyata menciptakan gumpalan debu halus.

Debu halus ini lah yang menghalangi sinar matahari, mendinginkan bumi, menghentikan fotosintesis, dan menghancurkan rantai makanan.

Itu terjadi lantaran debu silikat bertahan di atmosfer selama 15 tahun, sehingga menurunkan suhu global hingga 15 derajat.

Hipotesis ini awalnya sudah pernah diusulkan pada tahun 1980 oleh para ahli geologi.

Namun hipotesis dikesampingkan pada awal tahun 2000-an karena sampel batuan dari era ini tidak mengandung cukup debu halus untuk menyebabkan musim dingin global.

Sehingga gagasan bahwa belarang yang menyebabkan dampak musim dingin global menjadi lebih populer.

Baca juga: Sempat Hidup Sezaman dengan Dinosaurus, Mengapa Burung Tidak Punah?

Menurut Ozgur Karatekin, peneliti di Royal Observatory Belgia. seperti dilansir dari Phys, mengatakan hal tersebut terjadi karena debu akibat tumbukan diperkirakan memiliki ukuran yang salah untuk bertahan di atmosfer dalam waktu yang cukup lama.

Untuk mengetahui kebenarannya, peneliti pun kembali melakukan studi. Tim peneliti internasional kemudian mengukur partikel debu yang berasal dari waktu setelah asteroid menghantam Bumi.

Partikel tersebut ditemukan di situs fosil Tanis di negara bagian North Dakota, Amerika Serikat.

Peneliti menemukan ada partikel debu berukuran sekitar 0,8 hingga 8,0 mikrometer. Ukuran itu tepat untuk bertahan di atmosfer hingga 15 tahun.

Dampak debu asteroid 66 juta tahun lalu

Dengan memasukkan data tersebut ke dalam model iklim, peneliti menyimpulkan bahwa debu kemungkinan besar memainkan peran yang jauh lebih besar dalam kepunahan massal dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.

Baca juga: Apakah Dinosaurus Bisa Berenang?

Dari seluruh material yang terlempar ke atmosfer karena tumbukan asteroid, peneliti memperkirakan 75 persennya adalah debu, 24 belerang, dan satu persen merupakan jelaga.

"Partikel debu benar-benar menghentikan fotosintesis pada tanaman setidaknya selama satu tahun menciptakan kehancuran besar kehidupan," kata Karatekin.

Itu merupakan jangka waktu yang lama untuk menimbulkan tantangan berat bagi habitat darat dan laut.

Hewan dan tumbuhan yang tidak beradaptasi atau tidak mampu beradaptasi akan menemui kehancuran.

Sean Gulick, ahli geofisika di Universitas Texas di Austin dan tidak terlibat dalam penelitian menambahkan, mengetahui apa yang terjadi pada peristiwa kepunahan massal terakhir di dunia adalah yang penting.

Tidak hanya untuk memahami masa lalu tetapi juga masa depan.

"Mungkin kita bisa memprediksi dengan lebih baik kepunahan massal yang sedang kita alami," kata Gulick.

Baca juga: Benarkah Ada Dinosaurus yang Belum Punah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com