KOMPAS.com - Makanan dibuang karena berbagai alasan. Mulai dari tidak layak makan, misalnya karena basi sampai tersisa karena tidak dihabiskan.
Contoh di atas adalah sampah makanan yang terjadi pada tahapan konsumsi pangan.
Baca juga: Proses Hidrotermal untuk Pengolahan Sampah Makanan
Sebelum sampai pada tahap itu, sampah makanan juga dihasilkan mulai dari tahap perolehan pangan, yakni produksi bahan pangan, pasca-panen, pemrosesan, hingga tahap konsumsi pangan.
Hal ini menjadikan sampah makanan sebagai jenis sampah yang paling banyak dihasilkan umat manusia di dunia.
Sayangnya, saat ini belum semua negara di dunia mampu mengendalikan jumlah sampah makanan yang dihasilkan.
Dikutip dari Laporan Kajian Food Loss & Waste di Indonesia tahun 2021 yang dirilis Bappenas, total jumlah sampah makanan dalam negri adalah 48 juta ton per tahun, sedangkan pada tahapan konsumsi sendiri, dihasilkan 19 juta ton sampah per tahun.
Timbunan sampah makanan ini terjadi secara berkelanjutan dan meningkat setiap tahun. Hal ini tentu akan berdampak yang signifikan terhadap lingkungan, termasuk perubahan iklim.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam situs resminya menyebutkan bahwa gas rumah kaca adalah salah satu penyebab kunci terjadinya perubahan iklim.
Sampah makanan dapat menghasilkan gas rumah kaca, yakni gas yang dapat memerangkap panas matahari di dalam atmosfer bumi.
Baca juga: Apa Saja Daur Ulang yang Bisa Dilakukan untuk Atasi Sampah Plastik?
Di antara gas-gas rumah kaca tersebut adalah gas karbon dioksida, gas nitrogen dioksida (NO2), gas freon (SF6, HFC, PFC), dan gas metana.
Dalam laporan Bappenas tersebut disampaikan, gas rumah kaca dilepaskan dari proses pembusukan pada timbunan sampah makanan.
Terlebih, semakin banyak proses yang sudah dilalui oleh suatu makanan terbuang, maka semakin banyak pula gas rumah kaca yang dihasilkan.
Hal ini menunjukkan bahwa jika nasi sisa yang dibuang akan menghasilkan gas rumah kaca yang lebih banyak daripada sampah padi.
Potensi sampah makanan berdampak terhadap perubahan iklim dihitung berdasarkan berat kilogram gas CO2 yang dihasilkan setiap 1 ton sampah makanan, mulai dari bahan pangan tersebut diproduksi sampai sampah makanan tersebut terurai.
Pada tahun 2019, potensi dampak per 1 ton sampah makanan di Indonesia adalah 4051,5 kg gas CO2. Sementara itu, dalam 20 tahun terakhir, rata-rata potensi dampak gas CO2 yang dihasilkan per 1 ton sampah makanan adalah 2324,24 kg.
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa membuang makanan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan iklim, khususnya terhadap polusi gas rumah kaca.
Baca juga: Apakah Sampah Mikroplastik Bisa Masuk ke Otak?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.