Oleh: Kusumadewi Sri Yulita
SAAT ini isu lingkungan terbesar yang dihadapi oleh seluruh negara ada perubahan iklim global dan dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan di planet kita tercinta ini.
Baca juga: Ahli Siapkan Desain Restorasi Mangrove untuk Riau, Ini Tujuannya
Berbicara tentang perubahan iklim global, maka tak lepas dari hutan dan fungsinya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemenlhk), total luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 125,76 juta hektare (ha) pada 2022.
Angka tersebut setara dengan 62,97 persen dari luas daratan Indonesia yang sebesar 191,36 juta ha.
Hutan memainkan peran penting dalam suatu bentang alam pada berbagai skala. Namun sayangnya sebagian besar hutan di Indonesia telah beralih fungsi.
Untuk mengembalikan alih fungsi lahan terutama yang sudah terdegradasi, biasanya dilakukan restorasi ekosistem yang mencakup restorasi, rehabilitasi dan reforestasi.
Restorasi adalah istilah umum yang berarti pengembalian atau pemulihan sesuatu kepada bentuk dan kondisi semula.
Restorasi umumnya merujuk pada sebuah bentang alam termasuk hutan, dan kegiatannya tidak hanya tentang menanam pohon. Keberhasilannya membutuhkan perencanaan yang matang dimana salah satu komponennya adalah pemilihan tumbuhan.
Restorasi dalam prakteknya harus didasarkan pada pengetahuan ilmiah walaupun itu bersumber dari pengetahuan tradisional yang tidak bisa disepekan, khususnya saat ini dimana terjadi perubahan iklim global yang mempengaruhi hampir segala aspek kehidupan di bumi ini.
Tumbuhan -terutama pohon- yang yang ditanam hari ini harus bisa dipastikan mampu bertahan dari tekanan abiotik dan biotik, termasuk tekanan sosial, agar dapat sintas dalam jangka panjang dan menghasilkan produk dan jasa penting untuk mendukung populasi dunia dan lingkungan.
Baca juga: Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, Restorasi Dipertanyakan
Dalam prakteknya, salah satu hal terpenting yang mendapat banyak perhatian adalah memilih jenis tumbuhan/pohon, baik itu jenis lokal, maupun jenis introduksi yang umumnya jenis eksotik.
Preferensi terhadap jenis introduksi dibanding jenis lokal memang tidak bisa dipungkiri lebih tinggi, terutama karena pertimbangan biaya, estetika dan waktu.
Apabila suatu kegiatan restorasi dilakukan dalam jangka waktu yang relatif pendek, ini akan berakibat pada pemilihan tumbuhan (pohon) yang berukuran relatif besar, cepat tumbuh, mudah beradaptasi dan siap bereproduksi, di mana ini jarang dijumpai pada pohon lokal yang tergolong ’slow growing’.
Selain itu pemilihan didasarkan pada ’popularitas’ dan juga faktor estetika, terutama jika tanaman yang dipilih berupa pohon yang cepat tumbuh, berbunga indah sepanjang tahun, dan tidak memerlukan pemeliharaan khusus/intensif.
Kondisi ini yang seringkali menjadi pertimbangan sehingga pohon lokal kian tersingkir. Sementara dari sisi lain kepedulian akan kelangsungan hidup tumbuhan asli/lokal yang meningkat karena kekuatiran pohon lokal akan tersisihkan dan lambat laun menyebabkan kepunahan jenis lokal.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.