Oleh: Kanetasya Sabilla
PADA usia yang masih sangat muda, 18 tahun, Rika* harus banyak menerima tekanan mental dan fisik akibat kemiskinan.
Ia menikah di usia muda dan terpaksa ikut suaminya yang seorang tukang sampah keliling dan tinggal di rumah mertuanya di perkampungan pinggiran ibu kota.
Baca juga: Baim Wong vs Nikita Mirzani dalam Komodifikasi Kemiskinan dan Sosial
Kondisi kehamilan Rika cukup bermasalah akibat kurangnya asupan gizi dan vitamin – yang tidak mampu ia beli – serta tidak stabilnya kondisi mentalnya.
Penghasilan suaminya belum mampu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Dania*, 30 tahun, seorang diri mengurus ketiga anaknya yang jarak usianya berdekatan dan semuanya di bawah tiga tahun.
Suaminya hampir tidak pernah membantu karena mengaku sudah terlalu lelah bekerja, walaupun penghasilannya terbilang kurang dari cukup.
Kemiskinan dan rasa lelah mengurus rumah tangga yang dirasakan Dania setiap hari membuatnya stres sehingga mudah marah pada anak-anaknya.
Dampak negatifnya, salah satu anaknya tampak kesulitan mengelola emosi – untuk anak seusianya – hingga sering memukul teman-temannya.
Sementara Yani*, 40 tahun, harus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Pagi sampai siang ia bekerja sebagai asisten rumah tangga, lalu membuat makanan untuk dijual pada malam hari. Ini belum ditambah pekerjaan rumah tangga yang harus ia urus sendiri.
Ketiga anaknya sudah sekolah, dan pendapatan suaminya sebagai tukang reparasi alat elektronik sangat jauh dari cukup. Ia mengaku sangat kelelahan secara fisik dan mental, namun tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Baca juga: Sikap Pasrah dan Nrimo, Tantangan Besar Hapus Kemiskinan di Jawa
Pengakuan para perempuan ini adalah potongan hasil wawancara dalam penelitian saya pada 2022 (belum dipublikasikan) mengenai dampak kemiskinan terhadap perempuan.
Saya berbicara dengan para perempuan yang tinggal di perkampungan pinggiran ibu kota.
Dari wawancara tersebut, saya mendapat gambaran bahwa walaupun kemiskinan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dampaknya masih lebih banyak dirasakan oleh kelompok perempuan.
Penilitian ini mendukung banyak penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa kemiskinan memang tidak pandang gender, tapi dampaknya tidak netral gender.
Setidaknya ada 3 gambaran besar dari riset saya yang bisa menunjukkan bagaimana perempuan lebih rentan menerima dampak dari kemiskinan.
Secara kuantitas, jumlah perempuan yang berada di bawah garis kemiskinan lebih tinggi dari laki-laki.