Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ODGJ Rentan Berhadapan dengan Masalah Hukum, Apa Penyebabnya?

Kompas.com - 08/12/2022, 17:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis


KOMPAS.com - Orang dengan Gangguan Kejiwaan atau ODGJ masih rentan mengalami diskriminasi saat berhadapan dengan masalah hukum. Pemenuhan hak para ODGJ di mata hukum masih belum terpenuhi.

ODGJ atau Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) seringkali memiliki masalah hukum. Namun, perbedaan persepsi kerap menjadi kendala dalam pemenuhan hak mereka.

Menurut Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept.Psikiatri FKUI-RSCM, Dr. dr. Natalia
Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked, ODGJ atau ODMK masih rentan mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi hak-haknya saat berhadapan dengan hukum.

"Karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa, apalagi banyak ODGJ atau ODMK yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan," kata dr Natalia.

Hal itu disampaikan dr Natalia dalam Diskusi Media pada acara Ruang Tamu Eugenia Communications bertajuk Pemenuhan Hak Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), Kamis (8/12/2022).

Penyebab ODGJ atau ODMK rentan berhadapan dengan hukum, kata dr Natalia, di antaranya karena keterbatasan akses pada layanan kesehatan jiwa, serta pemahaman masyarakat dan penegak hukum tentang masalah gangguan kejiwaan.

Baca juga: Kesehatan Mental di Indonesia, Stigma ODGJ Masih Melekat

Dr Natalia mengatakan saat ODGJ/ODMK berhadapan dengan masalah hukum, yang seharusnya mendapatkan pendampingan dan pendukungan justru dimasukkan ke dalam tahanan.

"Di dalam tahanan, mereka lebih rentan lagi mengalami masalah kejiwaan. Waktu (saat) pemahaman kita belum optimal, kerap kali masalah kejiwaan jadi tidak terdeteksi dan tidak tertangani dengan optimal," jelas dr Natalia.

Masalah hukum ODGJ

Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa yang berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan mendapatkan keadilan.

Dalam banyak kasus hukum yang dilatarbelakangi faktor kesehatan kejiwaan, ada begitu banyak ragamnya, di antaranya sebagai berikut.

  • Gangguan yang membuat seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan;
  • Gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi;
  • Gangguan mengatur perilaku seperti dialami pada orang dengan kondisi mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH);
  • Perbedaan dalam cara menerima dan merespon informasi, seperti spektrum autisme dan disabilitas intelektual.

Pada dasarnya, gangguan jiwa pada ODGJ maupun ODMK, tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, tetapi memerlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal.

Baca juga: Pemerhati ODGJ Tuntut BPJS Perhatikan Obat Penderita Gangguan Jiwa

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa mayoritas orang dengan gangguan kejiwaan ini akan terlihat seperti orang biasa, tanpa ada perubahan yang mencolok bila dilihat sekilas. Misalnya gangguan depresi dan kecemasan, yang merupakan dua gangguan kejiwaan yang paling lazim ditemukan di masyarakat.

"Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ODMK," imbuhnya.

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa ini juga menambahkan bahwa kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional. 

Peran psikiatri forensik dalam mendampingi para ODGJ/ODMK sangat penting, yang di antaranya mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi.

Namun, menurut dr Natalia, layanan psikiatri forensik di Indonesia masih berada dalam proses perkembangan, sehingga belum sepenuhnya merata di Indonesia. Bahkan, jumlah psikiatri forensi di Indonesia saat ini hanya 8 orang yang masih aktif memberikan layanan tersebut.

Terbatasnya SDM yang ada ini, membuat sebagian besar pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum.

Fajri Nursyamsi SH, MH. Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK) mengungkapkan bahwa kondisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan.

"Tetapi kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat bebas dari hukuman. Penilaian harus dilakukan kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi," imbuhnya.

Baca juga: 7 Kali Lebih Berisiko Terinfeksi Corona, Begini Tatalaksana Vaksinasi Covid-19 ODGJ

Fajri menambahkan aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal. Yakni, dengan kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak.

Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik, dan infromasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Lebih lanjut Fajri menjelaskan bahwa dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sudah diatur perihal dasar pemaaf yang dapat dimaknai bahwa jika seseorang mengalami gangguan kejiwaan pada saat melakukan tindak pidana, sehingga tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya itu, maka tidak dipidana.

Sedangkan pada Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa hakim dapat memerintahkan pemberian pengobatan kepada orang tersebut.

Untuk sampai kepada kesimpulan bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan, ketika melakukan tindak pidana tidak dapat hanya diterka atau dinilai oleh pihak awam, melainkan harus melalui pemeriksaan ahli yang dilakukan berdasarkan prosedur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.

Oleh karena masalah ini, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya.

Pedoman tersebut merupakan inovasi untuk membantu psikiater untuk melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien. KBAP adalah panduan yang dapat membantu tercapainya Pemeriksaan Kecakapan Mental yang Berkualitas sebagai salah satu cara untuk memenuhi hak ODGJ/ODMK dalam sistem hukum di Indonesia.

Baca juga: BPJS Disomasi Komunitas Pemerhati ODGJ karena Joker, Apa Keberatannya?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com