KOMPAS.com - Minuman dan makanan manis menjadi pilihan kudapan menarik bagi siapa saja. Ketika senang, kita ingin makan manis dan saat merasa sedih, sebagian orang juga melampiaskannya dengan makanan manis mengandung banyak gula.
Walaupun begitu, makanan manis tinggi gula sering disebut tidak sehat.
Berbagai opini dan asumsi tentang gula pun bermunculan, sehingga banyak mitos yang tidak benar mengenai si pemanis makanan atau minuman ini. Apa saja mitos tentang gula?
Beberapa ahli berpendapat bahwa gula bersifat adiktif. Pendapat ini berdasar pada sebuah narasi yang menyebutkan bahwa gula menyebabkan efek seperti obat pada hewan.
Efek yang dimaksud adalah keinginan untuk memakan kudapan manis, ketagihan, hingga efek opioid.
Sayangnya, lebih banyak penelitian yang mematahkan narasi tersebut. Kondisi seperti ketagihan terhadap gula ternyata hanya terjadi dalam angka yang rendah pada pasien obesitas.
Baca juga: Pemanis Buatan Pengganti Gula Ini Ternyata Ditemukan dari Kecelakaan Laboratorium
Namun, bukanlah mitos apabila efek gula sebenarnya adalah dapat menimbulkan rasa ingin makan lebih banyak, melebihi yang dapat diterima tubuh.
Selain itu, gula memang menimbulkan efek psikologis, seperti menimbulkan rasa bahagia, namun bukan ketagihan.
Pernah mendengar istilah “sugar rush” pada anak? Istilah “sugar rush” digunakan untuk menjelaskan kondisi ketika seseorang sangat aktif setelah mengonsumsi gula. Ternyata ini adalah mitos.
Konsumsi gula atau pemanis akan meningkatkan kandungan gula dalam darah yang harus dipecah oleh tubuh dan diolah menjadi energi.
Ini membuat otot dan organ tubuh harus menggunakan gula tersebut untuk beraktivitas. Hal yang sama terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan lain, sekalipun tidak mengandung gula.
Jadi gula dianggap dapat membuat anak menjadi hiperaktif adalah mitos belaka.
Baca juga: Diberi Gula, Nyamuk Tak Bisa Tularkan Virus Demam Berdarah