Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Difteri dan Penemuan Vaksin yang Selamatkan Jutaan Anak di Dunia

Kompas.com - 18/11/2021, 07:02 WIB
Zintan Prihatini,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejarah penemuan vaksin difteri sangat panjang. Sebab, penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini ternyata telah muncul sejak abad ke-5 dan pertama kali dijelaskan oleh seorang dokter Yunani kuno, Hippocrates.

Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin atau racun.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), racun tersebut dapat merusak jaringan di hidung maupun tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan.

CDC mencatat, difteri pernah menjadi penyebab utama penyakit dan kematian pada anak-anak. Amerika Serikat mencatat 206.000 kasus difteri pada tahun 1921, mengakibatkan 15.520 kematian.

Angka kematian difteri berkisar dari sekitar 20 persen pada anak di bawah lima tahun dan orang di atas usia 40 tahun. Sedangkan pada mereka yang berusia antara 5 sampai 40 tahun mencapai 5 hingga 10 persen.

Penyakit difteri adalah penyebab kematian ketiga pada anak-anak di Inggris dan Wales pada 1930-an.

Baca juga: Fokus Tangani KLB, Bio Farma Tunda Ekspor Vaksin Difteri

 

 

Bisa dikatakan, bahwa vaksin difteri merupakan salah satu sejarah penemuan yang mengubah dunia yang telah menyelamatkan jutaan anak-anak di seluruh dunia melalui program imunisasi difteri (dt).

Dilansir dari jurnal American Society for Microbiology, Selasa (28/02/2017), sejarah vaksin difteri dikembangkan pertama kali oleh ilmuwan Jerman, Emil Behring dan Shibasaburo Kitasato memulai penelitian mereka tentang perlindungan difteri dan tetanus pada hewan percobaan.

Studi menunjukkan, bahwa serum dari kelinci yang terinfeksi Clostridium tetani memberikan perlindungan pada tikus terhadap basil tetanus hidup dan toksin tetanus.

Satu pekan kemudian, Behring menerbitkan tulisannya tentang imunisasi babi guinea dengan Corynebacterium diphtheriae dan toksin difteri non aktif serta aktivitas pelindung serum dari hewan yang kebal.

Vaksin difteri mendapat perhatian lebih dibandingkan tetanus. Difteri dianggap sebagai salah satu pembunuh yang paling mengancam, menyebabkan satu persen dari semua kematian anak-anak di bawah usia lima tahun maupun kematian anak-anak secara keseluruhan.

Sejarah percobaan pertama terapi serum terhadap difteri pada manusia, dilakukan Behring pada pertengahan Januari tahun 1892, namun pengujian vaksin difteri tersebut untuk mencapai keberhasilan terbatas, karena kualitas serum yang tidak mencukupi.

Baca juga: Difteri Merebak, Dokter Sarankan Orang Dewasa Imunisasi Ulang

 

 

Ilustrasi difteriShutterstock Ilustrasi difteri

Kemudian, Paul Ehrlich mengembangkan teknik standarisasi. Jumlah yang lebih besar dari serum anti difteri berkualitas tinggi akhirnya tersedia untuk diuji klinis.

Dalam laporan tahun 1894, hasil eksperimen pada 220 anak yang menderita difteri mengungkapkan kesembuhan hingga 77 persen secara keseluruhan, tergantung pada waktu mulai pengobatan.

Pengobatan difteri yang dimulai pada 2 hari pertama setelah diagnosis penyakit hampir 100 persen berhasil. Sedangkan pada hari keenam, penurunan tingkat kesembuhan terlihat tajam, hanya mencapai 50 persen.

Percobaan vaksin difteri pada hewan besar

Di sisi lain, Emile Roux bersama Alexandre Yersin telah menyusun karakterisasi toksin difteri pada tahun 1888.

Mereka adalah orang pertama yang menggunakan kuda untuk imunisasi dan melaporkan penurunan dari 50,7 persen efek samping berbahaya difteri tanpa pengobatan menjadi 24,5 persen dengan terapi serum anti tetanus.

Baca juga: Ilmuwan Sebut Difteri Bisa Jadi Ancaman Kesehatan Global dalam Waktu Dekat

 

 

Hewan besar pertama yang dimanfaatkan untuk produksi serum oleh Behring dan Ehrlich adalah domba, lalu diganti menjadi kuda sebagai bahan percobaan.

Penyempurnaan lebih lanjut dari produksi dan standarisasi antiserum difteri menghasilkan penurunan angka kematian difteri menjadi satu sampai lima persen bila diberikan langsung setelah diagnosis.

Tidak heran jika sampai saat ini, Behring dihormati dan dikenal sebagai penyelamat anak-anak melalui penemuan vaksin difteri.

Indikasi pertama bahwa terapi serum dapat menyebabkan efek samping juga muncul, meskipun Behring menganggap serumnya tidak berbahaya.

Pada tahun 1896, bayi yang sehat secara profilaksis diobati dengan serum difteri, kemudian meninggal.

Anak itu kemungkinan meninggal karena reaksi anafilaksis terhadap serum asing, dan pemberitaan menyebut, menurut seorang ahli patologi terkenal hal itu terjadi karena suntikan serum Behring untuk imunisasi.

Baca juga: Difteri Merebak, Dokter Sarankan Orang Dewasa Imunisasi Ulang

Ilustrasi pemberian vaksin.KOMPAS.com/RAJA UMAR Ilustrasi pemberian vaksin.

Perjalanan sejarah vaksin difteri

Selama bertahun-tahun, Behring telah berusaha untuk menonaktifkan toksin difteri tanpa mengurangi imunogenisitasnya, misalnya menggunakan panas, tetapi tidak berhasil.

Lalu dia berhasil membentuk kompleksitas antitoksin plus toksin, dalam vaksin bernama difteri AT.

Sebelum Behring, Theobald Smith telah melaporkan keberhasilan pertama vaksinasi babi guinea dengan antigen-antibodi kompleks. Uji klinis imunisasi dt skala besar dari vaksin pencegahan ini tentu menjadi tantangan.

Namun, tes awal yang dilakukan langsung setelah terjadinya wabah menunjukkan, bahwa anak-anak yang mendapat imunisasi dt secara konsisten menjadi terlindungi, sedangkan mereka yang tidak divaksinasi rentan tertular difteri.

Baca juga: Cegah Difteri, Perlukah Pakai Masker dan Imunisasi Bayi Baru Lahir?

 

Di lima wilayah yang mengalami epidemi dan di satu daerah endemis difteri, imunisasi difteri lengkap dilakukan pada 633 anak, hasilnya hanya ada dua kasus difteri.

Sementara Behring melakukan vaksinasi aktif terhadap penghasil toksin bakteri, penelitiannya dikembangkan oleh peneliti asal Prancis, Gaston Ramon pada 1920.

Ramon mengembangkan vaksin yang sangat ampuh dengan menonaktifkan racun difteri dan tetanus melalui formaldehida.

Temuan tersebut memungkinkan produksi vaksin difteri skala besar yang dapat diproduksi berulang dengan biaya rendah.

Untuk menyempurnakan vaksin difteri, Glenny dan timnya menambahkan aluminium hidroksida sebagai bahan tambahan yang digunakan dalam vaksin toksoid sampai sekarang.

Baca juga: Fokus Tangani KLB, Bio Farma Tunda Ekspor Vaksin Difteri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com