KOMPAS.com - Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah komplikasi infeksi demam berdarah dengue (DBD) yang memiliki tingkat kematian yang tinggi. DSS juga dikenal dengan istilah dengue hemorrhagic fever (DHF). Munculnya komplikasi ini bisa tiba-tiba dan sangat progresif.
Penyebab dengue shock syndrome sama dengan demam berdarah dan demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini disebabkan dengan virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Baca juga: Virus Dengue DBD Juga Berevolusi, Apa Bedanya Sekarang dan Dulu?
Demam pada DBD umumnya terjadi selama 2 sampai 7 hari dan menurun setelahnya. Namun, hati-hati, justru komplikasi biasanya terjadi pada fase ini. Komplikasi paling banyak terjadi pada hari ke 3 dan 4 sejak hari pertama sakit. Jika tidak segera ditangani, maka komplikasi ini akan mengakibatkan syok yang berisiko kematian.
Temuan utama yang menunjukkan progresif DBD menuju DSS adalah trombositopenia yang diikuti dengan meningkatnya hematokrit. Trombositopenia adalah menurunnya trombosit hingga di bawah 100.000 per milimeter kubik.
Kondisi tersebut akan memicu kebocoran plasma yang mengakibatkan syok hipovolemik yang berujung DSS. Di Indonesia, walaupun angka kematian akibat DBD menurun, namun kematian akibat DBD yang disertai syok masih tinggi.
Berikut adalah gejala DSS menurut World Health Organization (WHO):
Selain itu, perlu diketahui bahwa pasien yang berisiko tinggi terkena DSS adalah bayi dan orang tua. Infeksi yang menyerang wanita juga ditemukan lebih parah daripada pria.
Pasien dengan DSS bisa memburuk dengan cepat. Oleh karena itu, pasien mungkin perlu dibawa ke intesive care unit (ICU). Saat ini, penanganan DSS yang sudah terbukti efektif hanya mengembalikan cairan tubuh secara intensif. Rekomendasi cairan dimasukkan melalui intravena sebanyak 10-20 mililiter per kilogram berat badan. Kasus berat mungkin membutuhkan dua jalur intravena sekaligus.
Terdapat beberapa pilihan penanganan tambahan untuk mengatasi syok pada dengue, seperti transfusi trombosit penggunaan kortikosteroid, dan penggunaan imunoglobulin. Sayangnya, belum ada bukti ilmiah yang bisa membuktikan keefektifan tindakan tambahan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.