Oleh: Marfasran Hendrizan
PERUBAHAN iklim merupakan fenomena global yang melanda bumi ditandai oleh pemanasan global yang menyebabkan pencairan es, perubahan muka laut, perubahan tingkat curah hujan, kenaikan suhu ekstrem dan lain sebagainya.
Menurut laporan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, pemanasan global saat ini telah mengalami kenaikan sebesar 1,1°C sejak 1850 dan diperkirakan akan mencapai 1,5°C dalam 20 tahun ke depan. Dampak pemanasan global tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di berbagai sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, hingga kesehatan.
Hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari berbagai pihak untuk siap siaga dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Salah satu hal penting yang sangat dibutuhkan adalah informasi sejarah pemanasan global di masa lalu yang berguna untuk mendukung upaya adaptasi dan mitigasi dampak pemanasan tersebut di masa kini maupun kesiapsiagaan di masa depan.
Baca juga: Catatan Karang tentang Perubahan Iklim dari Abad Pertengahan dan Masa Kini
Informasi perubahan suhu bumi yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan instrumen sangat terbatas sehingga dibutuhkan metode lain selain dari pengukuran.
Salah satu objek yang menyimpan informasi perubahan suhu bumi yaitu organisme kecil di lautan, khususnya foraminifera. Organisme ini merekam informasi suhu laut pada saat perkembangannya sehingga pada saat organisme ini mati dan terkubur di dalam sedimen laut, maka rekaman suhu dalam foraminifera tersebut tetap tersimpan di dalam sedimen laut.
Foraminifera atau dikenal foram merupakan organisme bersel satu dari kelompok Protista yang memiliki cangkang untuk melindungi bagian tubuh lunaknya. Foram ditemukan di semua kolom air laut dari bagian intertidal hingga laut dalam dan dari lautan tropis hingga lautan di wilayah kutub. Foram sangat melimpah sebagai fosil sejak 540 juta tahun lalu.
Cangkang foram sendiri terbagi menjadi beberapa kamar yang semakin bertambah selama perkembangannya. Komposisi cangkang foram terbentuk oleh senyawa organik, butiran pasir, maupun kristal karbonat (CaCO3) baik kalsit ataupun aragonit.
Foram juga berukuran sangat kecil berkisar antara 100 mikrometer hingga 20 cm. Ia mengambil makanan di laut menggunakan jaringan halus dinamakan pseupodia yang kemudian memasukkan makanan tersebut ke mulut foraminifera. Makanan foram berupa molekul organik, alga, bakteri, diatom, dan binatang kecil atau copepod.
Saat ini diperkirakan spesies foram yang masih hidup di lautan dunia sekitar 6.700-10.000 spesies, 40 spesies adalah foram plangtonik (foram yang hidupnya mengambang di kolom air). Sisanya foram bentonik, yaitu foram yang hidup di dasar laut maupun di dalam sedimen laut hingga kedalaman 20 cm. Foram yang telah menjadi fosil memiliki jumlah yang lebih besar lagi hingga 40.000 spesies.
Baca juga: Rekaman dari Karang Ungkap Ancaman Bencana Iklim bagi Indonesia
Salah satu bagian terpenting dari foram adalah bagian cangkangnya, sehingga informasi pembentukan cangkang foram harus dipahami dengan baik karena mekanisme pembentukan cangkang foram oleh seluruh fungsi tubuh foram menjadi dasar dari inkorporasi unsur magnesium (Mg) ke dalam dinding kalsit foram.
Proses pembentukan cangkang foram diawali oleh jaringan halus atau disebut pseupodia yang membentuk ruang jenuh berupa larutan di dalam air laut. Kristal karbonat kalsit kemudian terperangkap dalam larutan tersebut untuk membentuk kamar-kamar baru.
Pada fase awal, terbentuk butiran berukuran 0,5-1 mikrometer (μm) terlihat di bagian endoplasma yang berkembang beberapa hari hingga membentuk microspherulite berukuran 1-5 μm di bagian vakuola. Tahapan berikutnya, spherulite berukuran 20-60 μm kemudian terbentuk di bagian ektoplasma.