Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Menyingkap Meteor-Sangat Terang di Balik Dentuman Misterius Bali

Kompas.com - 26/01/2021, 13:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selain menghasilkan kilatan cahaya sangat terang (meski hanya sesaat), boloid juga dikenali dengan kemampuannya membentuk ketampakan awan lurus noktilusen yang bisa bertahan hingga lebih dari sejam. Awan noktilusen merupakan awan sangat tinggi (non troposferik) yang muncul pada ketinggian lebih dari 30 km.

Seperti pernah saya utarakan sebelumnya, secara rata–rata 44 ton meteoroid memasuki atmosfer Bumi setiap harinya. Massa sebanyak itu membentuk ribuan meteor dan hampir semuanya merupakan meteor biasa. Dari meteor sebanyak itu, rata–rata 17 diantaranya adalah boloid yang bisa memproduksi meteorit.

Namun dua pertiga paras Bumi adalah lautan, sebaliknya seperempat daratan adalah nihil aktivitas manusia. Maka peluang ketampakan sebuah boloid yang bisa memproduksi meteorit dan terlihat dari pemukiman manusia tinggal 1 boloid per tahun. Secara statistik setiap kilometer persegi paras Bumi akan mendapatkan sebutir meteorit dalam 50.000 tahun.

Rekonstruksi Bali

Dentuman di Bali didahului kilatan cahaya terang dan disusul getaran seismik unik. Mengindikasikan aktor utamanya adalah sebuah boloid. Suatu boloid bisa memproduksi dentuman sonik akibat proses perlambatan yang bersamaan dengan proses fragmentasi bertingkat.

Bergantung kepada tipe meteoroid, dimensi dan kecepatan awalnya, pada ketinggian tertentu proses perlambatan dan fragmentasi akan mencapai puncaknya sehingga boloid melepaskan mayoritas energi kinetiknya. Inilah peristiwa mirip ledakan di udara (airburst) yang khas. Airburst melepaskan gelombang kejut yang bisa menjangkau paras Bumi. Dampak papasan gelombang kejut tersebut bergantung kepada besar energi airburst.

Kita bisa memperkirakan seberapa besar dimensi meteoroid yang mengalami airburst di Bali berdasarkan beberapa faktor.

Pertama, mengacu pada rasio konversi energi akustik–ke–seismik yang berada pada rentang sepersepuluhribu hingga sepersepuluh juta. Gelombang kejut pada dasarnya merupakan gelombang akustik dan saat menyentuh paras Bumi ada fraksi yang bakal berubah menjadi gelombang seismik.

Faktor kedua adalah sifat dasar boloid, yakni memiliki magnitudo minimal –8. Dan faktor ketiga bersifat semi–empirik, mengacu pada dentuman yang terdengar tunggal sehingga mungkin kurang atau sama dengan karakter boloid Bangkok (Thailand) 7 September 2015.
BMKG mengukur usikan seismik unik dari Bali memiliki magnitudo 1,1 atau setara dengan energi seismik 2,8 MegaJoule.

Dengan mempertimbangkan ketiga faktor di atas, maka meteoroidnya akan cukup padat, mirip dengan kepadatan meteorit akondrit. Jika dianggap berbentuk bulat sempurna seperti bola, maka meteoroidnya berdiameter antara 70 hingga 280 cm dan massanya antara 1 hingga 57 ton apabila memasuki atmosfer dengan kecepatan awal 20 km/detik.

Pada dimensi dan massa demikian, boloid akan mengalami airburst di ketinggian antara 30 hingga 36 kilometer dari paras Bumi. Rentang energi yang dilepaskan pada saat airburst terjadi berada di antara 0,04 hingga 3 kiloton TNT.

Rentang energi tersebut cukup kuat guna memproduksi suara dentuman yang bisa kita dengar namun masih terlalu kecil guna menghasilkan kerusakan paling minimal sekalipun bagi paras bumi dibawahnya. Maka tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di mana posisi airburst terjadi? Selisih waktu di antara seismogram BMKG dan PVMBG menjadi indikasi bahwa titik nol dentuman (yakni titik yang tepat berkedudukan di bawah lokasi airburst) adalah lebih dekat ke Singaraja dibandingkan Gunung Batur.

Perhitungan dan pemodelan ini bersifat sementara. Untuk memastikan apa yang terjadi di atas Bali pada saat itu, dibutuhkan data infrasonik yang biasanya direkam stasiun-stasiun infrasonik dalam jejaring sistem pemantauan larangan ujicoba nuklir global segala matra CTBTO.

Lebih baik lagi bila dikombinasikan dengan pencitraan instrumen lightning mapper pada satelit cuaca. Sejauh ini baru satelit–satelit GOES yang dilengkapi instrumen seperti itu dan hanya memantau hemosfer perairan Samudera Pasifik, benua Amerika dan perairan Samudera Atlantik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com