Oleh: Moehammad Gafar Yoedtadi
TEKA-TEKI siapa pelaku video seks yang menghebohkan beberapa bulan belakangan terjawab ketika polisi menetapkan seorang artis dan temannya sebagai tersangka.
Alih-alih mengaku, sebelumnya sang artis sempat mengelak bahwa orang yang ada di dalam video berdurasi 19 detik tersebut adalah dirinya. Namun jejak digital yang dianalisis polisi mematahkan alibi tersebut.
Kalangan aktivis perempuan membela sang artis sebagai korban yang tak selayaknya dijadikan tersangka pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sang artis dinilai membuat video porno tersebut dengan tujuan dokumentasi pribadi dan bukan untuk disebarluaskan. Harusnya tersangka utama hanyalah pelaku penyebaran video tersebut karena perbuatannya merupakan tindakan berbagi tanpa kesepakatan (non-consensual sharing).
Namun, polisi berasumsi lain. Polisi menilai sang artis telah melakukan kelalaian ketika mengirim video tersebut kepada temannya, dan temannya baru menghapus video itu seminggu setelah diterima. Keduanya terancam hukuman penjara minimal 6 bulan dan paling tinggi 12 tahun.
Kasus ini menjadi kasus kedua. Sebelumnya pernah menimpa seorang biduan band terkenal yang kedapatan video syurnya viral di internet.
Tulisan ini tak hendak membahas aspek hukum pengenaan status tersangka sang artis, tetapi ingin melihat dari sudut motif orang merekam hubungan intimnya.
Kalau mau jujur perilaku membuat dokumentasi aktivitas seksual sering dilakukan orang. Terbukti dengan beredarnya banyak foto dan video amatir hubungan intim di internet. Pembuatnya bahkan datang dari masyarakat biasa.
Di industri pornografi, video jenis amatir merupakan komoditas yang laris ditonton. Kasdan (2015) membagi tiga jenis konten video syur berdasarkan tujuan pembuatnya.
Pertama adalah produksi video seks pribadi (sebagai praktik intim yang tidak dimaksudkan untuk sirkulasi yang lebih luas). Kedua, produksi pornografi amatir (materi yang diproduksi untuk diedarkan baik secara terbatas pertukaran dengan produser amatir lainnya atau untuk sirkulasi yang lebih luas). Ketiga, produksi industri pornografi arus utama.
Konten yang dibuat oleh sang artis, sebagaimana pengakuannya di depan polisi, masuk kategori pertama hanya dokumentasi pribadi.
Perilaku merekam hubungan intim memang tak bisa dilepaskan dari industri pornografi. Produk pornografi berupa foto dan video itulah yang menginspirasi masyarakat untuk mendokumentasikan aktivitas seksualnya.
Schwarz (2010) membuat penelitian untuk mengetahui motif orang merekam aktivitas seksualnya. Penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan antara kebiasaan mengonsumsi pornografi dengan perilaku mendokumentasikan hubungan intim. Mereka terinspirasi dari adegan-adegan syur yang ditontonnya.
Menurut kajian Schwarz, ada berbagai motif mendorong orang mendokumentasikan hubungan intimnya. Pertama, sensasi ketika menjadi tontonan (being watched).