Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Pandemi Covid-19, Pentingnya Ketersediaan Air Bersih dan Pangan Lokal

Kompas.com - 22/10/2020, 12:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Tim Peneliti Ketahanan Pangan dan Air

“TONGKAT kayu dan batu jadi tanaman”, kutipan dari Lagu Koes Ploes, hampir lima dekade lampau menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Keberagaman pangan menjadi konsekuensinya.

Tiwul di Yogyakarta, Jagung Bose di Nusa Tenggara Timur, ataupun Papeda di Papua menjadi makanan khas yang mencirikan identitas dan budaya lokal. Kuliner khas ini hampir punah karena ditinggalkan masyarakat yang memandangnya sebagai pangan kelas dua dibandingkan beras. Padahal sepiring jagung bose lengkap dengan umbi dan kacang hijau serta ikan yang dihasilkan pesisir adalah manifestasi konsep “isi piringku” yang sebenarnya.

Di tengah keberlimpahan tersebut, Indonesia sayangnya masih menghadapi tantangan berat dalam bidang ketahanan pangan dan gizi. Di tahun 2019, ketahanan pangan kita berada di peringkat 62 dari 113 negara, masih jauh dibawah negara tetangga se-ASEAN.

Begitu pula dengan ketahanan gizi, masih lebih tertinggal karena tingginya angka malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak. Hal ini tentu membawa dampak besar dalam proses pembentukan modal manusia Indonesia ke depannya.

Pandemi diprediksi memperburuk ketahanan pangan dan gizi akibat menurunnya daya beli dan ketersediaan pangan yang terbatas. Hari Pangan Sedunia yang baru saja diperingati pada 16 Oktober di masa pandemi ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk kembali pada pangan lokal yang beragam dan tidak kalah besar kandungan gizinya, namun semakin tergerus oleh pangan modern.

Tantangannya, bagaimana memodernisasi pangan lokal, agar memperkaya asupan harian masyarakat dan membangun rantai ekonomi yang kuat di dalam negeri.

Diversitas sumber karbohidrat

Ketersediaan beras yang semakin mudah diakses dan terjangkau telah menurunkan minat masyarakat terhadap sumber karbohidrat lain. Ketiadaan faktor permintaan menyebabkan kurangnya ketersediaan dan tingginya harga.

Padahal, sumber-sumber karbohidrat Indonesia bertebaran dari singkong, ubi, sukun, plantain (pisang berpati umumnya dimasak sebelum dikonsumsi), sagu, jagung, sorghum, dan labu, yang selama ini belum dioptimalkan konsumsinya. Umumnya mereka hanya dikonsumsi sebatas camilan dan bahan baku kudapan ringan.

Selain kandungan energinya yang setara atau bahkan lebih baik dari beras, beragam sumber karbohidrat substitusi ini memiliki keunggulan lain.

Salah satunya adalah indeks glikemik (GI), yang menunjukkan seberapa cepat makanan diubah menjadi glukosa oleh tubuh, dan berkisar antara 0 dan 100. Semakin tinggi indeks glikemik berarti semakin mudah suatu makanan meningkatkan kadar gula darah.

Singkong sekalipun memiliki GI ±79 (tinggi) (Afandi, et al., 2019), tidak jauh beda GI dari nasi putih, namun memiliki keunggulan antara lain budidaya relatif mudah dan daunnya dapat diolah menjadi masakan.

Beberapa serealia selain beras dan gandum, yang diakrabi oleh masyarakat Indonesia adalah jagung. Masyarakat urban telah akrab dengan cornflakes sebagai sarapan yang harganya cukup tinggi sementara jagung rebus dapat dipersiapkan di rumah, memiliki GI ±48 (rendah) (Afandi, et al., 2019). Tanaman jagung juga mampu beradaptasi dengan lahan marjinal.

Sementara itu, sagu memiliki kandungan lemak yang rendah (0,23%) sehingga cocok untuk mereka yang ingin mengurangi berat badan. Dengan kandungan serat kasar yang rendah, sagu mudah dicerna dan dikenal baik untuk dikonsumsi oleh orang yang memiliki inflamasi di saluran pencernaan.

Sekalipun sagu miskin kandungan protein (0.81%) (Bantacut, 2011), kombinasi lauk pauk yang kaya protein dan sayuran akan menjadikan isi piring bergizi seimbang.

Lalu, salah satu varian plantain yang diakrabi oleh masyarakat Indonesia adalah pisang kepok, yang dapat dimakan langsung setelah buahnya matang walapun lebih umum untuk digoreng atau dijadikan kolak pisang. Pisang kepok yang masih mengkal dapat dimasak sebagai pengganti nasi.

Ketika kulit pisang kepok masih hijau, kandungan pati resistennya mencapai 17,4% yang turun menjadi 5,1% ketika pisang kepok matang sempurna. Hal ini diiringi dengan kenaikan gula total dari 2,8% ke 15,6% (Reginio Jr, Ketnawa, & Ogawa, 2020).

Buah lokal nusantara sebagai sumber vitamin

Pandemi berefek pada keleluasaan impor, maka ketergantungan impor buah sudah selayaknya dikurangi. Pandemi juga memaksa kita untuk memperbanyak konsumsi pangan sehat dengan kandungan vitamin tinggi untuk meningkatkan ketahanan tubuh. Konsumsi buah lokal membantu pemenuhan angka kecukupan gizi (AKG) terutama vitamin.

Pandemi memberi pelajaran agar kita lebih mencintai plasma nutfah lokal sekaligus melestarikannya. Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia termasuk jenis buah-buahan.

Buah impor disukai antara lain karena memiliki rasa enak dan masa simpan yang lama, memungkinkan untuk pengiriman internasional, sehingga tren impor meningkat (Zurriyati & Dahono, 2016). Kedua karakter ini adalah masukan bagi produsen buah terkait dengan program pemuliaan tanaman.

Plasma nutfah buah lokal tidak kalah dengan buah impor. Setidaknya terdapat 400 jenis tanaman buah yang asli nusantara maupun introduksi. Tercatat 226 jenis tumbuhan buah Indonesia yang dapat dimakan.

Buah musiman menjadi sumber vitamin yang tidak terhingga, dan cenderung murah. Faktor ‘musiman’ ini harus menjadi peluang untuk meningkatkan asupan vitamin yang secara otomatis juga akan beragam.

Lebih lanjut, jenis buah-buahan yang tersedia sepanjang musim seperti papaya dan pisang bahkan lebih banyak tersedia dengan variasi yang luar biasa.

Jamur sebagai alternatif sumber protein

Daging ayam, ikan dan daging sapi merupakan sumber protein hewani yang dikenal luas di masyarakat. Meskipun demikian, harganya yang relatif tinggi membuat nilai rata-rata asupan protein hewani masyarakat Indonesia relatif lebih rendah dibanding negara sekawasan.

Beberapa sumber protein nabati dengan harga yang lebih terjangkau diharapkan dapat menjadi pengganti sumber protein hewani. Salah satunya adalah jamur pangan yang dalam dua dekade terakhir menjadi produk pangan yang mulai populer di Indonesia.

Meskipun jamur pangan (edible mushroom) merupakan salah satu sumber bahan pangan yang telah dikenal masyarakat, namun angka konsumsi di Indonesia masih sangat rendah. Data Kementerian Pertanian RI menunjukkan konsumsi jamur pangan masyarakat Indonesia hanya 0,18/kg/kapita dibandingkan dengan Jepang (3,5), Australia (3,0), Perancis (4,5) Kanada (2,8) dan Amerika Serikat (2,5).

Jamur pangan selain bergizi juga mengandung senyawa bioaktif yang berperan sebagai
imunomodulator (meningkatkan fungsi sistem imun tubuh). Jamur dapat mencegah beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus misalnya flu burung (H5N1), flu tipe A virus (H3N2), dan demam berdarah.

Jamur tiram merupakan salah satu yang paling populer di Indonesia. Protein dari jamur tiram tersusun dari sembilan asam amino esensial seperti pada protein hewani. Jamur tiram juga mengandung beberapa unsur mineral, senyawa antioksidan, dan senyawa prebiotik.

Beberapa jenis jamur pangan saat ini telah dibudidayakan di Indonesia dan mulai menjadi bagian kuliner Indonesia. Jamur populer lainnya adalah jamur merang, yang sentra produksinya berada di sekitar pantai utara Pulau Jawa.

Air minum dan sanitasi untuk mendukung asupan pangan

Fungsi air tidak kalah penting dibandingkan asupan pangan. Penyerapan gizi dari makanan sangat tergantung dari kualitas air konsumsi. Selain itu, sanitasi memberi peran bagi tubuh untuk terhindar dari infeksi yang disebabkan berbagai faktor eksternal.

Masih tingginya angka kematian akibat diare terutama di kalangan anak balita menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi yang disebabkan oleh rendahnya praktik kebersihan dan ketersediaannya memiliki peran yang tidak kalah penting daripada makanan itu sendiri.

Air di antaranya berfungsi sebagai pelarut zat–zat gizi, alat angkut sisa-sisa metabolisme tubuh, dan katalisator berbagai reaksi biologis dalam sel yang berkaitan erat dengan fungsi organ dan imunitas tubuh.

Ketersediaan air minum dan sanitasi yang bersih dan memadai menjadi prasyarat. Masyarakat di pedesaan dan kota kecil setidaknya memerlukan 60 - 100 liter/orang/hari sedangkan masyarakat di kota besar memerlukan 150 – 200 liter/orang/hari.

Perhitungan ini masih digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia sampai hari ini, untuk membuat perencanaan pembangunan instalasi pengolahan air bersih (Sutapa, 2019).

Penutup

Periode pandemi Covid-19 ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkenalkan dan memperluas perubahan pada kebijakan pangan dan gizi. Perubahan kebijakan akan mendorong perubahan pola konsumsi dan preferensi dalam momentum krisis seperti saat ini.

Pertama, mendorong diversifikasi pangan pokok. Telah diketahui secara umum bahwa konsumsi energi dari beras dapat digantikan oleh pangan lokal seperti singkong, sagu, dan umbi-umbian yang jika diolah dengan baik memberikan kandungan gizi melebihi beras.

Hal tersebut perlu diikuti dengan membangun sisi penawarannya, sehingga brand lokal dapat meraih hati masyarakat dan membentuk kecenderungan untuk berbelanja produk lokal, serta edukasi terhadap kebutuhan gizi keluarga.

Kedua, perubahan pola pengeluaran makanan. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran untuk mengkonsumsi makanan sehat selama pandemi, upaya advokasi perubahan perilaku diperkirakan menjadi lebih mudah dan efektif.

Sejalan dengan meningkatnya tren mengudap (snacking) di saat bekerja ataupun belajar di rumah, UMKM memiliki peluang untuk mendiversifikasi produk berbasis pangan lokal seraya dipantau oleh instansi terkait agar mengedepankan keamanan dan mutu pangan.

Ketiga, mendorong konsumsi buah dan sayur. Konsumsi buah dan sayur di Indonesia baru mencapai sekitar 30% dari yang direkomendasikan. Pandemi juga mendorong konsumsi sayur dan buah dan menyebabkan efek halo sehat (hello health).

Keempat, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, pemerintah memerlukan strategi khusus dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti air minum, air bersih dan sanitasi untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif.

Tim Peneliti Ketahanan Pangan dan Air, Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) – UNESCO C2C Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Prof. Dr. Ignasius D.A. Sutapa; MSc., Dr. Iwan Saskiawan; Dr. Enung Sri Mulyaningsih, MSi.; Dr. Ainia Herminiati, MSi; Anastasia Fitria Devi, PhD. dan Esta Lestari, SE., MEcon.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com