Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

"Frankenstein" dan Teknologi Plasma

Kompas.com - 09/10/2020, 12:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Anto Tri Sugiarto dan Suherman

FRANKENSTEIN; or, The Modern Prometheus karya Mary Shelley, yang terbit pertama kali pada tahun 1818, adalah novel klasik fiksi ilmiah yang masih aktual sampai sekarang. Selain menginspirasi terbitnya novel yang se-genre seperti Vampire dan Drakula, ternyata novel ini pun hampir sama dengan sejarah lahirnya zat keempat yang disebut plasma.

Zat ini ditemukan oleh Irving Langmuir, ilmuwan Amerika pemenang hadiah Nobel bidang kimia pada tahun 1928, dalam eksperimennya melalui lampu tungsten filament. Kami tidak tahu apakah Langmuir pernah membaca novel itu atau tidak, tapi idenya hampir sama.

Dalam novel Frankenstein, diceritakan tentang obsesi seorang ilmuwan bernama Victor Frankenstein untuk membuat manusia dari potongan mayat-mayat yang berbeda. Potongan-potongan ini kemudian dijahit menjadi manusia kembali dengan wujud berupa monster yang menyeramkan tapi berwatak humanis.

Untuk menghidupkan kembali tubuh tersebut, diperlukan “nyawa” berupa energi yang sangat besar dengan cara disetrum memakai listrik bertegangan dari petir (lecutan elektron). Akhirnya, eksperimen Frankenstein ini berhasil menghidupkan kembali bahkan membuat manusia baru.

Begitulah imjinasi sang pengarang walaupun tidak banyak fakta ilmiah untuk menjelaskan mengapa itu bisa dilakuan, mungkin pada waktu itu ilmu biologi belum modern.

Ilmuwan (bioscientist) yang terang-terangan merasa terinspirasi oleh novel Frankenstein adalah Stanley Miller dan Harold Urey (1952), yang dengan percobaannya dapat menghasilkan senyawa asam amino melalui lecutan elektron terhadap beberapa senyawa organik. Asam amino dikenal sebagai bahan dasar penyusun protein dalam pembentukan sel mahkluk hidup.

Penjelasan sederhananya sebagai berikut: tubuh manusia terdiri dari asam amino; dan asam amino ini isinya adalah glycine yang terdiri dari amino, hidrokarbon, dan asam. Sebaliknya, untuk membuat glycine, kita tinggal kumpulkan saja metan, air, dan amoniak; lalu alirkan energi atau disetrum maka jadilah asam amino.

Dengan demikian, bisa jadi khayalan teknologi Mary Sheley ada benarnya, jadi kalau mau menghidupkan orang harus ada lecutan elektron, karena kalau tidak ada maka komponen-komponen pendukungnya tadi tidak akan bereaksi.

Belajar dari novel Frankenstein dan riset Stainley Miller seperti di atas, petir atau lecutan elektron atau dalam bahasa ilmiah disebut plasma menjadi suatu hal yang menarik untuk kita kaji lebih dalam.

Teknologi plasma terus berkembang baik di dalam riset maupun dalam aplikasinya dan ternyata lingkungan kehidupan kita tidak bisa lepas dari plasma.

Matahari, petir, aurora, dan api adalah plasma alamiah yang kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan plasma hasil dari rekayasa manusia terdapat hampir di semua bidang industri, seperti elektronik, material, kimia, dan obat-obatan. AC, ponsel, komputer, lampu neon, televisi, dan lain-lain.

Pendek kata, tidak kurang dari dua pulu jenis produk plasma yang ada di rumah kita sekarang ini.

Sekarang ini, yang paling fundamental adalah aplikasi teknologi plasma sebagai pelopor teknologi bersih dalam bidang lingkungan dan sanitasi, terutama untuk mengatasi pencemaran lingkungan tanah, air dan udara.

Polusi udara

Menurut catatan WHO, polusi udara tiap tahunnya membunuh tidak kurang dari 7 juta orang (Kompas.com, 26 Juni 2019). Greenpeace juga melaporkan bahwa di Indonesia, angka kematian akibat polusi udara sejak 1 januari 2020 mencapai 9.000 jiwa dengan potensi kerugian ekonomi Rp 140 triliun (detik.com, 10 Juli 2020).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com