KOMPAS.com - Vaksin BCG, akronim dari Bacille Calmette-Guérin (BCG), tengah diuji beberapa negara untuk memastikan apakah dapat melindungi manusia dari virus corona.
BCG merupakan vaksin tuberkulosis yang dibuat dari baksil tuberkulosis yang dilemahkan dengan dikulturkan di medium buatan selama bertahun-tahun.
Hingga saat ini, belum ada hasil pasti yang diperoleh para ahli terkait vaksin BCG untuk melindungi diri dari Covid-19.
Namun, banyak masyarakat Indonesia yang melontarkan argumen di media sosial, dengan mengatakan bahwa vaksin BCG berhasil membuat angka konfirmasi positif Covid-19 di Indonesia rendah. Jauh di bawah Amerika Serikat yang hingga siang ini jumlah warga terinfeksi sudah lebih dari 710 ribu.
Lantas, benarkah vaksin BCG dapat melindungi diri dari virus corona baru SARS-CoV-2?
Baca juga: Ingin Konsumsi Ramuan Herbal untuk Cegah Corona? Begini Saran BPOM
Panji Hadisoemarto, pakar kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan vaksin BCG bermanfaat melindungi seseorang dari Covid-19.
"Beberapa analisis yang dijadikan dasar hanya melihat adanya korelasi antara cakupan BCG dengan jumlah kasus Covid-19, tapi analisis 'ekologi' seperti ini banyak kelemahannya," kata Panji kepada Kompas.com, Sabtu (18/4/2020).
Beberapa kelemahan analisis ekologi atau studi pra-cetak pun dipaparkan epidemiolog Madhukar Pai dalam tulisannya yang terbit di Forbes, 12 Februari 2020.
"Sebagai peneliti tuberkulosis (TB), saya sangat senang jika vaksin BCG dapat melawan COvid-19. Tapi studi ekologis ini memiliki kelemahan serius yang diabaikan sebagian besar pemberitaan media," kata Madhukar Pai dalam tulisannya.
Studi ekologi pertama terkait hubungan BCG dan virus SARS-CoV-2, menggunakan data penyebaran Covid-10 pada 21 Maret 2020.
Studi ini menyimpulkan bahwa korelasi awal antara vaksinasi BCG dan perlindungan untuk Covid-19 menunjukkan bahwa BCG dapat memberi perlindungan jangka panjang terhadap virus corona baru.
"Studi inilah yang mendapat banyak perhatian media yang tidak kritis, bahkan sebelum peer-review. Jelas, itu menginspirasi banyak penelitian serupa," ujar Madhukar Pai.
Lebih lanjut Madhukar Pai mengatakan bahwa studi ekologis secara inheren terbatas karena data yang diambil sangat kasar dan segera menarik kesimpulan pada tingkat individu.
Ahli epidemiologi menyebut ini sebagai kekeliruan ekologis. Pasalnya, kekeliruan ekologis muncul dari pemikiran bahwa hubungan yang diamati untuk kelompok pasti berlaku untuk individu.