Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Telinga Kera Purba Ungkap Bagaimana Manusia Bisa Berjalan 2 Kaki

KOMPAS.com - Bagaimana nenek moyang kita pada akhirnya bisa berjalan dengan dua kaki masih terus dipelajari hingga sekarang.

Pasalnya, bukti fisik mengenai transisi dari berjalan dengan empat kaki menjadi 2 kaki masih langka.

Dengan banyaknya kemungkinan terjadinya proses tersebut, sulit untuk mengatakan dengan pasti bagaimana anatomi kita dan fungsi mekanisnya itu berevolusi.

Namun mengutip Science Alert, Jumat (2/2/2024) sebuah studi terhadap telinga bagian dalam kera purba menunjukkan bahwa evolusi bipedalisme (berjalan dengan dua kaki) tidak terjadi secara tiba-tiba.

Evolusi itu terjadi dalam sebuah proses tiga bagian, menjembatani kesenjangan antara berayun di pohon dan berdiri di tangan yang kokoh.

Bukti baru ini berasal dari tengkorak Lufengpithecus, seekor kera yang hidup di Asia Timur sekitar 6 juta tahun lalu.

Bukti baru dari kera purba

Beberapa ciri gigi Lufengpithecus menunjukkan bahwa ia adalah nenek moyang primitif orangutan modern, yang memanjat di kanopi pohon.

Tetapi, analisis lain terhadap tengkoraknya menempatkan Lufengpithecus lebih dekat dengan kera Afrika, seperti gorila dan simpanse, yang dikenal suka berjalan dengan buku jari.

Keterhubungan ini membuat Lufengpithecus menjadi kera yang menarik untuk dipelajari.

Dalam studi baru ini, Yinan Zhang, seorang mahasiswa doktoral paleontologi di Chinese Academy of Sciences, dan rekannya mempelajari bagian dalam telinga Lufengpithecus.

Itu dilakukan untuk mencari bukti bagaimana mahluk yang sudah lama punah itu bergerak.

Para ilmuwan telah mengetahui sistem vestibular sebagai cara untuk mempelajari bagaimana manusia purba dan kerabat kita bergerak setidaknya sejak tahun 1994.

Sistem vestibular telinga bagian dalam, dengan tiga saluran setengah lingkaran yang melingkar, mengirimkan informasi ke otak tentang posisi dan gerakan hewan.

Saluran-saluran tersebut berisi cairan dan rambut-rambut halus yang merasakan gerakan, membantu keseimbangan.

“Ukuran dan bentuk saluran setengah lingkaran berkorelasi dengan cara mamalia, termasuk kera dan manusia, bergerak di lingkungannya,” jelas Zhang.

Zhang dan rekannya secara digital memindai tiga fosil Lufengpithecus yang digali di Tiongkok selatan pada tahun 1970an dan 1980an, di mana labirin tulang telinga bagian dalam masih terawetkan ketika bagian lain tengkoraknya telah hancur.

“Dengan menggunakan teknologi pencitraan modern, kami dapat memvisualisasikan struktur internal fosil tengkorak dan mempelajari detail anatomi saluran setengah lingkaran untuk mengungkap bagaimana mamalia yang punah itu bergerak,” kata Zhang.

Evolusi bipedalisme

Hasil analisis itu dapat mengungkap gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana nenek moyang manusia purba mulai berjalan dengan dua kaki.

“Studi kami menunjukkan adanya tiga langkah evolusi bipedalisme manusia,” jelas Terry Harrison, penulis senior studi tersebut dan antropolog New York University.

Sebelum Lufengpithecus, kera paling awal berpindah dari satu cabang ke cabang lain dengan hanya bergantung pada lengannya, seperti yang dilakukan owa saat ini.

Kemudian muncullah Lufengpithecus yang memanjat, berayun di antara pepohonan sambil juga bergerak dengan empat anggota badan di tanah. Mereka juga menggunakan dua anggota badan saat berpegangan pada dahan.

Analisis tersebut menunjukkan bahwa Lufengpithecus sangat mirip dengan nenek moyang terakhir kera dan manusia yang berpindah-pindah, dan dari campuran gerakan inilah bipedalisme manusia akhirnya berevolusi.

Kesimpulan tersebut sangat sesuai dengan temuan sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa bipedalisme muncul secara bertahap, yaitu nenek moyang yang berpegang pada pohon lalu perlahan-lahan menggunakan kaki mereka.

Studi dipublikasikan di The Innovation.

https://www.kompas.com/sains/read/2024/02/04/120000923/telinga-kera-purba-ungkap-bagaimana-manusia-bisa-berjalan-2-kaki

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke