Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Prehipertensi pada Remaja di Indonesia: Ancaman Bom di Masa Mendatang

Oleh: Prisca Petty Arfines

REMAJA merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke fase dewasa, dengan rentang usia 10-18 tahun, yang ditandai dengan perubahan yang cepat secara fisik, kognitif dan dalam pertumbuhan psikososialnya (Permenkes RI no 25 tahun 2014).

Berdasarkan profil remaja dari UNICEF, pada tahun 2021 populasi remaja mencapai 45.844.000 jiwa atau 17 persen dari total penduduk.

Dengan situasi saat ini dimana dua per tiga penduduk Indonesia merupakan usia produktif, Indonesia diprediksi akan memasuki puncak bonus demografi pada tahun 2037.

Hal ini menekankan pentingnya kesehatan remaja untuk kelangsungan bangsa.

Secara umum, usia remaja ini sering dihubungkan dengan masa indahnya kondisi fisik tanpa adanya penyakit, namun justru kematian sering terjadi pada usia ini terkait dengan perilaku berisiko yang tidak sehat.

Dari profil remaja tahun 2021, penyebab kematian tertinggi pada usia remaja adalah kecelakaan lalu lintas, TBC, dan kekerasan interpersonal1. Secara kognitif, masa remaja juga mulai memasuki tahap untuk mengeksplorasi hal-hal baru karena rasa keingintahuan yang besar.

Apabila tidak diarahkan dengan baik, anak remaja memiliki risiko besar untuk mencoba hal-hal yang tidak sehat seperti merokok, NAPSA, diet tidak sehat, seks bebas serta berbagai perilaku kesehatan berisiko lainnya yang akan berakibat fatal pada usia setelahnya.

Berbagai masalah kesehatan telah mengintai kesehatan remaja masih sering luput dalam program intervensi kesehatan. Salah satunya adalah prehipertensi yaitu kondisi peralihan antara tekanan darah normal dan hipertensi.

Pada remaja, kondisi pre hipertensi ditunjukkan jika tekanan darah rerata sistolik atau diastolik lebih besar atau sama dengan persentil 90th tetapi lebih kecil dari persentil 95th menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badannya atau jika berdasarkan pemeriksaan tekanan darah lebih besar atau sama dengan 120/80 mmHg.

Kondisi prehipertensi ini belum menjadi fokus kesehatan remaja karena jarangnya dilakukan pemeriksaan tekanan darah pada remaja. Padahal prehipertensi merupakan faktor risiko dari hipertensi pada usia setelahnya.

Sebuah review melibatkan 50 studi kohor dari seluruh dunia mendapati bahwa anak yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi diprediksi berisiko hipertensi pada kehidupan dewasanya.

Sedangkan hipertensi sendiri merupakan ranking pertama dari faktor risiko dari kematian dan disabilitas di dunia dan di Indonesia 5 berdasarkan data dari Global Burden of Diseases tahun 2019.

Sebuah studi yang terbit di BMJ Open pada tahun 2023 mendapati bahwa prevalensi remaja Indonesia yang mengalami hipertensi sebesar 2,6 persen dan 16,8 persen mengalami pre hipertensi6.

Hal ini menunjukkan 1 dari 5 remaja kita mengalami tekanan darah yang berada di atas normal yang berisiko berkembang menjadi hipertensi pada usia dewasa.

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan pada organ vital yaitu jantung, pembuluh darah otak serta ginjal dan menyebabkan terjadinya serangan jantung, stroke ataupun gagal ginjal hingga kematian.

Sebagai gambaran, hasil Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi dari hasil pengukuran pada masyarakat dewasa di Indonesia sebesar 34,11 persen atau satu dari tiga penduduk berusia 18 tahun ke atas di Indonesia mengalami hipertensi.

Dengan kondisi kesehatan yang seperti ini, kita perlu mengetahui apa saja faktor risiko terkait hipertensi ini dan bagaimana strategi pencegahannya untuk generasi masa depan.

Masih dari publikasi di BMJ Open, turut disampaikan faktor risiko prehipertensi dan hipertensi pada remaja Indonesia, yaitu: usia, jenis kelamin dan obesitas. Remaja dengan usia lebih tua memiliki risiko pre hipertensi dan hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan remaja muda.

Tekanan darah meningkat seiring dengan waktu dan seiring dengan pubertas.

Remaja dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko mengalami hipertensi dan pre hipertensi dibandingkan perempuan.

Hal ini berkaitan dengan peranan hormon seks dimana keberadaan hormon Esterogen justru menurunkan tekanan darah pada wanita, sedangkan testosteron meningkatkan sistem renin-angiotensin yang justru dapat meningkatkan tekanan darah.

Kedua faktor risiko diatas menunjukkan kerentanan seseorang yang tidak dapat dimodifikasi. Selain itu, faktor genetik juga menjadi faktor risiko yang meningkatkan kerentanan bagi yang memiliki garis turunan hipertensi.

Studi menyimpulkan bahwa pengaruh genetik yang diturunkan pada variasi tekanan darah sebesar 30-50 persen dan sisanya justru dipengaruhi dari faktor lingkungan.

Faktor lingkungan yang dapat dimodifikasi adalah obesitas. Remaja yang mengalami obesitas memiliki risiko 2,1 kali lebih tinggi untuk mengalami prehipertensi dan 5,6 kali lebih tinggi untuk mengalami hipertensi.

Berdasarkan laporan UNICEF tahun 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 7 remaja (14,8 persen, atau 3,3 juta) di Indonesia mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.

Hal ini berkaitan dengan tingginya pajanan akan makanan dan minuman tinggi kalori berasal dari gula namun rendah akan zat gizi penting lainnya yang menyasar target remaja dan anak-anak.

Sebuah review tersistematik yang terbit pada tahun 2021 menunjukkan bahwa kosumsi remaja di Indonesia masih kurang akan protein, buah dan sayur namun berlebihan dalam konsumsi natrium dan Western food.

Produk makanan dan minuman saat ini juga didominasi makanan olahan dengan kandungan gula, garam dan lemak yang tinggi.

Minuman kekinian yang sering kita temui dengan mudah antara lain minuman manis dengan gula tambahan seperti boba, kopi susu serta minuman kemasan tinggi gula.

Sedangkan terkait jajanan, banyak makanan didominasi oleh makanan dengan kandungan tinggi natrium (garam, MSG, kecap, perasa, saus cabai) serta bahan tambahan lainnya (mayones, saus keju ataupun keju).

Dengan adanya transisi pada pola makan remaja di Indonesia, bagaimana dengan situasi program kesehatan remaja di Indonesia?

Sejak tahun 2003 Kementerian Kesehatan telah mengembangkan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja atau PKPR dimana berfokus dalam pelayanan kesehatan klinis, pendidikan kesehatan yang menargetkan sekolah dan masyarakat umum.

Puskesmas bekerjasama dengan sekolah ataupun lintas sektor untuk dapat melakukan pelayanan dan pendidikan kesehatan pada remaja.

Namun dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi saat ini, tingginya pajanan remaja akan gaya hidup tidak sehat semakin tidak terelakkan.

Diperlukan sinkronisasi berbagai program kesehatan baik dari pemerintah dan sektor swasta dalam promosi kesehatan yang lebih gencar pada masyarakat.

Dari sisi regulasi juga diperlukan peraturan yang kuat dan ketat dalam mengontrol kandungan gula, garam dan lemak dalam makanan terutama makanan jajanan yang banyak dikonsumsi oleh remaja.

Dengan berbagai hal yang telah disampaikan, sekarang saatnya kita segera bergerak untuk bisa mewujudkan remaja Indonesia yang lebih sehat. Harapannya akan semakin marak gerakan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran remaja akan gaya hidup yang sehat.

Mari kita mulai dari lingkungan terdekat kita misalnya dari keluarga untuk bisa saling mengedukasi dan mengingatkan tentang pentingnya pola hidup sehat untuk masa depan yang lebih baik.

Prisca Petty Arfines
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi - OR Kesehatan BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/12/25/123300223/prehipertensi-pada-remaja-di-indonesia--ancaman-bom-di-masa-mendatang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke