Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Juwet Putih Terlupakan, Ancaman pada Ketahanan Pangan Nasional

Oleh: Syaiful Azhary dan Patmiati

TANAMAN juwet putih merupakan salah satu jenis tanaman buah lokal yang mencoba bertahan di tengah gempuran buah import. Dahulu buah yang dijuluki java plum ini menjadi idola namun kini mulai terlupakan.

Tanaman buah kaya manfaat yang sebelumnya mudah dijumpai pohonnya disetiap pekarangan rumah ataupun tumbuh liar kini tergusur dan tergantikan.

Sebuah ancaman bagi pemerintah Indonesia yang berkomitmen untuk menjaga ketahanan pangan nasional dalam menghadapi krisis pangan global.

Miris sekali melihat keberadaannya yang semakin jarang, ditambah lagi dengan perubahan preferensi pasar konsumsi buah lokal beralih ke buah buah impor, menyebabkan tanaman ini semakin lama semakin terlupakan.

Bagi kita generasi pre boomer sampai generasi Y mungkin tidak asing dengan salah satu jenis tanaman buah lokal ini.

Dikutip dari hasil penelitian Lingen Van tahun 1992 yang menyebutkan bahwa tanaman juwet yang memiliki nama latin sinonim Eugenia cumini ini memiliki nama lokal yang beragam diantaranya jambu kleng (Aceh), jambu kling (Gayo), jambu kalang (Minangkabau), jamblang (Betawi dan Sunda), juwet, duwet, duwet manting (Jawa), dhalas, d. bato, dhuwak (Madura), juwet, jujutan (Bali), klayu (Sasak), duwet (Bima), jambulan (Flores), java raporapo (Makasar), alikopeng (Bugis), jambu (Ternate).

Tanaman juwet memiliki nama latin Syzygium cumini dan tergolong dalam suku Myrtaceae atau jambu – jambuan.

Tanaman ini memiliki banyak varietas mulai dari yang buahnya berukuran kecil sampai yang besar. Variasi warna buahnya pun beragam ada yang hitam, ungu, dan putih.

Secara kasat mata tidak terdapat perbedaan perbedaan yang mencolok yang dapat kita lihat pada tanaman juwet hitam dan tanaman juwet putih, baik pada bentuk daun, bunga, dan buahnya.

Namun jika diamati lebih teliti, maka terdapat sedikit perbedaan dalam warna, bentuk dan ukuran morfologi buah di antara keduanya.

Perbedaan ini merupakan hasil dari adaptasi lingkungan tempat tumbuhnya, seperti intensitas cahaya, jenis tanah, dan lain sebagainya, yang selanjutnya menjadi variasi yang muncul dalam karakter morfologinya.

Secara umum tanaman juwet putih memiliki karakter sebagai berikut:

  • perawakannya berupa pohon dengan percabangan rendah dan tinggi pohon dapat mencapai 20 meter,
  • memiliki percabangan yang rapat dan tidak memiliki banir,
  • kulit batang berwarna abu-abu abu gelap atau abu-abu kecoklatan,
  • memiliki daun tunggal yang tersusun berhadapan,
  • daunnya berbentuk elips atau bulat telur (obovate) dengan ujung daunnya berbentuk runcing (acute) atau berbentuk lekukan seperti bentuk hati,
  • daunnya berwarna hijau cerah, pertulangan daunnya terlihat jelas dan berwarna hijau kekuningan pada bagian bawah daun,
  • bunganya berukuran kecil berwarna putih berukuran 4 – 7 milimeter,
  • buahnya berbentuk bulat panjang lonjong dan berwarna putih keunguan. Warna buahnya ini yang membedakaannya dengan juwet pada umumnya sehingga menjadi unik.

Indonesia kaya akan keanekaragaman jenis-jenis buah lokal sebagai sumber pangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

Ancaman dari melimpahnya buah import menjadikan buah lokal dewasa ini semakin terpinggirkan atau ter-eliminasi karena kalah berkompetisi salah satunya adalah juwet putih ini.

Konservasi merupakan salah satu upaya untuk melestarikan keberadaan tanaman juwet putih khususnya yang ada di Indonesia. Ada dua macam konservasi flora yang kita kenal yaitu konservasi flora secara in-situ dan ex-situ.

Sebagai badan riset nasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki tanggungjawab untuk ikut melakukan konservasi biodiversitas flora termasuk didalamnya tanaman buah lokal yang ada di Indonesia.

Di bawah BRIN terdapat Lima Kawasan Konservasi Ilmiah Kebun Raya yang bertanggung jawab menjadi benteng terakhir dalam menjaga biodiversitas flora secara ex-situ.

Lima Kebun Raya tersebut meliputi Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi, Kebun Raya Eka Karya Bali, dan Kebun Raya Cibinong. Untuk Kebun Raya Cibinong memiliki koleksi tumbuhan sebagai sumber plasma nutfah yang tinggi.

Sedangkan keempat kebun raya yang lain memiliki karakter koleksi tumbuhan yang berbeda berdasarkan habitatnya.

Kebun Raya Bogor memiliki koleksi tanaman dengan habitat dataran rendah basah, Kebun Raya Cibodas memiliki koleksi tanaman dengan habitat dataran tinggi basah, Kebun Raya Purwodadi memiliki koleksi tanaman dengan habitat dataran tinggi kering, dan Kebun Raya Eka Karya Bali memiliki koleksi tanaman dengan habitat dataran tinggi kering.

Dari hasil penelitian Backer dan BRIN pada tahun 1963 mengindikasikan bahwa tumbuhan juwet tumbuh diketinggian di bawah 500 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Dilihat dari habitatnya, tanaman juwet tumbuh di daerah dataran rendah sehingga tanaman ini cocok di konservasi oleh BRIN di Kebun Raya Purwodadi.

Sampai dengan saat ini terdapat 14 spesimen koleksi tanaman juwet di Kebun Raya Purwodadi dari berbagai wilayah. Keberadaan koleksi tanaman juwet merupakan bagian dari upaya konservasi dan penyelamatan keanekaragaman variasi genetik dan plasma nutfah di Indonesia.

Konservasi tanaman juwet ini bagian dari upaya pengenalan manfaat dan potensi kegunaan tanaman ini agar masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari keberadaannya.

Dari beberapa penelitian tentang tanaman juwet menyebutkan bahwa salah satu penyebab semakin sedikitnya tanaman juwet untuk ditemui di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat tanaman juwet.

Tidak banyak orang yang tertarik untuk memperbanyak dan menanam tanaman juwet. Hal ini menyebabkan ancaman atas keberlanjutan tanaman juwet.

Di satu sisi keberadaan pohon juwet semakin lama semakin sedikit yang diakibatkan penebangan karena masyarakat menganggap tanaman ini adalah tanaman liar dan tidak menghasilkan.

Padahal di lain sisi ada potensi besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan di masa depan.

Ini menjadi alasan mengapa BRIN harus memberikan edukasi kepada masyarakat akan potensi dari tanaman juwet dan mengajak masyarakat untuk ikut menjaga agar tanaman ini tetap hidup lestari.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Tjitrosoepomo pada tahun 1994 yang mengatakan salah satu pertimbangan masyarakat enggan menebang pohon juwet adalah masih memiliki nilai bagi mereka, selain buah yang bermanfaat sebagai obat diare, disentri daunnya juga bermanfaat sebagai anti bakteri, diolah sebagai parfum maupun pemutih gigi.

Bahkan saat ini diketahui bahwa buah juwet memiliki kandungan zat antioksidan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan ketahanan tubuh.

Penulis sependapat dengan hasil penelitian dari Sastrapraja dan Rifa’i tahun 1989 yang menyatakan perlu dilakukan eksplorasi agar masyarakat mengetahui manfaat tanaman juwet sehingga mereka tidak ragu lagi untuk membudidayakannya.

Dari hasil penelitian Mudiana dan Ariyanti pada tahun 2007 menyebutkan perbanyakan tanaman juwet ini dilakukan dengan menggunakan biji.

Penulis melihat masyarakat harus terus diberikan edukasi tentang nilai ekonomi tanaman juwet ini sekaligus cara perbanyakan tanaman juwet agar tanaman juwet khususnya juwet putih tidak menjadi langka atau bahkan punah sehingga masih bisa dinikmati oleh anak cucu kita.

Syaiful Azhary dan Patmiati
BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/11/06/123300823/juwet-putih-terlupakan-ancaman-pada-ketahanan-pangan-nasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke