Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Flores: Sang Pulau Panas Bumi

“One of our tech boys flagged this. Splashed down in the Banda Sea. Could be the Quinjet…”

LAUT Banda menjadi titik terakhir dideteksinya Quinjet, pesawat canggih yang ditumpangi Dr. Bruce Banner alias The Hulk pascapertempuran di Sokovia.

Informasi tersebut diungkapkan oleh Direktur SHIELD, Nick Fury dalam film science fiction garapan waralaba Studio Marvel, Avengers: Age of Ultron.

Fury mengatakan kepada Natasha Romanoff, bahwa Bruce kemungkinan tercemplung ke lautan terdalam di Indonesia itu.

Di dunia nyata, pada kedalaman yang sangat jauh di Laut Banda, terdapat formasi yang oleh para ahli geologi disebut sebagai Banda Arc (Busur Banda).

Menurut Hamilton (1979), dalam Tectonics of the Indonesian Region, Busur Banda adalah sistem subduksi aktif berupa penunjaman paralel, busur punggung luar, cekungan busur luar, dan busur magmatik yang mengarah ke timur sejauh 2.000 Km dari Pulau Jawa lalu berputar berlawanan arah jarum membentuk huruf ‘U’.

Ia seakan-akan ditabrak sesuatu dari barat dengan sangat kuat sehingga melengkung ke arah utara lalu berbelok kembali ke arah Pulau Seram, Maluku.

Morfologi Busur Banda yang unik menampilkan penampakan geologi yang menarik, yaitu banyaknya gunung api aktif terutama di area punggungan dalam (inner ridge).

Secara umum, gunung api di wilayah Busur Banda tersusun atas batuan vulkanik berumur Kenozoik Atas, seperti di pulau Bali, Sumbawa, Flores hingga Wetar, Kepulauan Damar, sampai kawasan di bagian selatan Pulau Seram (Hamilton, 1979).

Keberadaan gunung api di sepanjang Busur Banda berperan sebagai hot spot yang menyimpan energi panas sebagaimana banyak ditemukan di Pulau Flores.

Pulau Flores (dari Bahasa Portugis yang berarti ‘Pulau Bunga’) merupakan daerah vulkanik dengan 13 gunung api aktif.

Beberapa ‘titik panas’ di pulau ini, yaitu Gunung Poco Leok, Gunung Ranakah, Gunung Inerie, Gunung Ebulobo, Gunung Egon, dan gunung yang terkenal dengan tiga danau berwarnanya, yaitu Gunung Kelimutu.

Banyaknya gunung berapi tersebut mambuat Flores memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar, mencakup 60 persen dari total potensi di seluruh Provinsi NTT yang memiliki sumber daya geotermal 1276 MWe (ESDM, 2019).

Kementerian ESDM merilis data bahwa potensi energi panas bumi di pulau ini, yaitu sekitar 776 MWe yang tersebar di 12 titik, di antaranya Ulumbu (Kabupaten Manggarai), Mataloko (Kabupaten Ngada), Sokoria (Kabupaten Ende), dan Oka Ile Ange (Kabupaten Flores Timur).

Selanjutnya pada 2025, ditargetkan pemenuhan kebutuhan listrik dasar utama (baseload) di Pulau Flores berasal dari energi terbarukan ini.

Terdapat tiga pembangkit listrik panas bumi yang telah beroperasi di Flores, yaitu PLTP Ulumbu (10 MW), PLTP Mataloko (2,5 MW), dan PLTP Sokoria (5 MW).

Walaupun utilisasi baru menyentuh angka 2 persen dari total potensi, perlahan tapi pasti, ketergantungan akan energi fosil untuk pembangkit listrik di Flores akan semakin berkurang.

Selain berdampak positif dari sisi lingkungan, keberadaan PLTP di suatu daerah yang biasanya berada di daerah dataran tinggi dapat menjadi daya tarik wisata.

Jika dikelola dengan baik, maka bisa menimbulkan multiplier effect dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh, PLTP Sokoria (bukan Sokovia-nya Marvel) yang terletak tidak jauh dari Danau Kelimutu memiliki pemandangan alam yang eksotik. Kondisi di sana mirip seperti dataran tinggi Dieng yang juga terdapat PLTP Dieng, Jawa Tengah.

Sebagai benchmark di negara lain, kawasan seperti Sokoria dan Dieng dapat dikembangkan layaknya Te Mihi dan Wairakei Geothermal Power Plant (North Island, New Zealand) yang terdapat Danau Taupo.

Di sekitar Danau Taupo, beberapa PLTP seperti Te Mihi (166 MW) dan Wairakei (193 MW) terintegrasi dari sisi pengelolaannya dengan kawasan wisata. Ada berbagai pilihan aktivitas dan atraksi, yaitu (hot pools, fishing, walking and hiking, mountain cycling, dan wisata budaya Maori).

Dengan berkaca dari negara yang sudah maju dalam pemanfaatan energi panas bumi seperti New Zealand, maka status Flores sebagai Pulau Panas Bumi tidak hanya berarti geotermal an sich.

Melainkan dapat menjadi lebih luas, dari sektor pariwisata, pengembangan infrastruktur wilayah, dan juga laboratorium alam untuk penelitian geosains dan geopark serta yang terkait dengannya.

Sebagai contoh, beberapa ahli ilmu bumi (geoscientist) akhir-akhir ini mulai tertarik meneliti panas bumi yang berada di pesisir dan pulau-pulau kecil karena memiliki beberapa variabel yang menarik.

Pada tahapan eksplorasi, penggunaan metode geofisika dan geokimia di daerah dekat laut harus mengalami penyesuaian (adjusment).

Secara teknis, dalam tahapan eksplorasi yang menggunakan metode geofisika elektromagnetik, keberadaan massa air laut di sekitar lokasi penelitian panas bumi menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.

Karakterisik air laut yang sangat konduktif akan menimbulkan distorsi komponen medan listrik akibat kontras resistivitas yang ekstrem antara daratan dan lautan.

Begitupula dengan data geokimia yang didapatkan perlu ditelaah lebih detail mengingat adanya kemungkinan intrusi air laut dalam fluida panas bumi yang pada akhirnya akan berimplikasi pada perkiraan temperatur bawah permukaan.

Konsekuensi selanjutnya besaran potensi energi listrik yang dihasilkan akan mengalami misleading, pengeboran yang salah sasaran, hingga akhirnya mengakibatkan kerugian secara finansial.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Oka Ile Ange, dekat Larantuka, Kabupaten Flores Timur mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan hipotetis di atas.

Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang berada di kawasan pesisir atau pulau-pulau kecil harus dibangun pemodelan khusus.

Pada data geofisika perlu dilakukan koreksi coast effect (dalam beberapa literatur disebut juga ‘sea effect’ atau ‘oceanic model’) sehingga memerlukan input data batimetri pada proses pemodelan struktur bawah permukaan (Arafat dan Daud, 2019).

Dengan kata lain, massa air laut harus masuk dalam model 3-D (tiga dimensi) geofisika. Selain itu, air laut yang kaya akan chlorine serta kandungan isotop O-18 yang berbeda dengan karakteristik fluida panas bumi perlu dimasukkan dalam pemodelan geokimia.

Sebagai kesimpulan, status Flores sebagai Pulau Panas Bumi dapat memberikan nilai tambah bukan hanya dari sisi pengembangan energi geotermal.

Lebih dari itu, ke depannya beberapa titik di Pulau Flores dapat menjadi tujuan wisata yang memesona, tidak hanya Labuan Bajo.

Di sisi lain, fitur geografis dan geologis Pulau Flores dapat menjadi objek penelitian yang menarik para ilmuwan, khususnya para pakar ilmu kebumian.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur dasar saja tidak cukup bagi pengembangan Pulau Flores.

Kompetensi SDM terutama di bidang geosains juga perlu ditingkatkan agar dapat terlibat secara aktif dan strategis dalam pengembangan energi terbarukan di pulau bunga ini.

Jika si ilmuwan Dr. Banner dalam film Marvel ‘dikabarkan’ telah mampir ke daerah perairan dekat Pulau Flores, mampukah anak Flores asli ‘menyelami’ dan menguak rahasia besar nun jauh di bawah permukaan sana? Semoga!

*Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja, Kementerian PPN/Bappenas

https://www.kompas.com/sains/read/2023/07/20/143000823/flores--sang-pulau-panas-bumi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke