Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Potensi "Superfood" di Lahan Gambut

Oleh: Hery Kurniawan, S.Hut.,M.Sc

"ORANG-orang bertanya saja kalau Nono itu makan apa sehingga jenius dan cerdas. Saya bilang Nono ini suka makan kelor,” ungkap Nuryati, ibu dari Caesar Hendrik Meo Tnunay alias Nono, sang juara matematika berusia tujuh tahun, yang berhasil mengalahkan 7000 peserta dari berbagai negara di kompetisi matematika tingkat dunia, International Abacus World Competition, Abacus Brain 2022.

Menarik bila menilik makanan kesukaan Nono sang juara matematika, yakni kelor.

Kelor dengan nama ilmiah Moringa oleifera memang memiliki tempat tumbuh yang sangat sesuai di NTT, dan wilayah Indonesia bagian tengah lainnya, seperti Sulawesi, NTB, maupun bagian timur seperti Maluku dan Papua.

Sebaran alami keberadaan tanaman kelor juga terdapat di wilayah Indonesia bagian barat seperti Sumatera dan Jawa. Namun pernahkah terbayangkan bila kelor mampu tumbuh dengan baik di lahan gambut?

Ya, kelor memang lebih banyak tumbuh di tanah mineral, mulai dari yang subur hingga marjinal. Kelor menyukai tanah yang mengandung partikel pasir, dan tak banyak dijumpai keberadaannya pada tanah gambut, meskipun memang ada.

Berasal dari manakah kelor sesungguhnya? Satu teori yang paling kuat menyatakan bahwa kelor berasal dari wilayah sub Himalaya Selatan, di barat laut India.

Dalam Kitab Shusruta Samhita, yang konon ditulis awal abad 1M, kelor disebut dengan nama Shigon. Fakta ini semakin memperkuat teori asal-usul kelor di atas.

Sebaran keberadaan tanaman kelor saat ini sudah sangat luas terdapat di seluruh benua di dunia, mulai dari Afrika hingga Amerika. Negara-negara Afrika, utamanya Ethiopia, Somalia dan Sudan, selain banyak memanfaatkan untuk makanan sehat, juga memanfaatkan kelor untuk mengatasi penggurunan, serta “tabungan” air, di musim kemarau.

Demikian banyak manfaat tanaman kelor hingga mendapat banyak julukan di berbagai tempat. Masyarakat Bali biasa menyebut kelor dengan “Pohon Kehidupan”.

Sedangkan WHO menobatkan kelor sebagai “Miracle Tree” atau pohon ajaib. Kelor juga disebut-sebut sebagai Mom’s Best Friend, karena manfaatnya untuk ASI dan mengatasi stunting pada anak-anak.

Dunia industri makanan sehat juga mengenal istilah “Superfood”, yang ini sering juga disematkan pada kelor.

Namun demikian mengutip pernyataan terapis Alissa Rumsey, sesungguhnya superfood disematkan pada makanan-makanan yang mengandung vitamin, nutrisi dan antioksidan yang tinggi.

Lebih spesifik, Despina Hyde, ahli diet dari New York University’s of langone Medical Center, mengatakan bahwa istilah superfood lebih merupakan istilah pemasaran untuk makanan yang memiliki manfaat kesehatan.

Berdasarkan fakta ilmiah dari banyak penelitian yang masih terus ada, maka tak berlebihan bila kelor juga sering disebut sebagai superfood.

Kelor dapat tumbuh optimal pada ketinggian hingga 400 mdpl, dan mampu tumbuh hingga ketinggian 1000 mdpl bahkan lebih. Tanah-tanah mineral dengan struktur berpasir yang biasanya memiliki aerasi yang baik sangat disukai oleh kelor.

Namun ternyata kelor mampu tumbuh juga dengan baik di tanah gambut dengan input dan perlakuan yang cukup sederhana. Penelitian Kurniawan dan kawan-kawan (2021) telah membuktikannya.

Sebidang plot penelitian tanaman kelor yang berlokasi pada lahan gambut Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, setidaknya telah mematahkan anggapan bahwa kelor tak bisa dibudidayakan di lahan gambut.

Riau memang memiliki areal lahan gambut yang sangat luas, meliputi 61,1 persen wilayahnya atau sekitar 3,57 ha (Anda dkk., 2021), di mana sekitar 2 juta hektar lebih dari luasan tersebut merupakan lahan gambut yang terdegradasi (Prayoto dkk., 2017).

Upaya pemulihan lahan gambut yang terdegradasi memang banyak menemui kendala karena adanya tekanan sosial ekonomi dari masyarakat.

Kelor merupakan tanaman berguna untuk lingkungan sekaligus komoditas ekonomi yang memiliki pangsa pasar hingga manca negara. Setidaknya kelor telah terbukti secara ilmiah dan praktis mampu membantu mengatasi masalah pangan dan stunting.

Manfaat lingkungan kelor berupa “tabungan” air sebagaimana di Afrika, sebagai penyubur tanah karena daunnya sering gugur dan mengandung unsur-unsur penyubur tanah.

Hasil penelitian di Jepang yang dikutip oleh Dabo (2016) menyatakan tanaman kelor mampu menyerap CO2 hingga 50 kali lipat dari pohon cedar jepang dan 20 kali lipat dari vegetasi umumnya di Jepang.

Biji kelor juga telah lama dikenal manfaatnya sebagai penjernih air, bahkan sebagai koagulan untuk mengikat zat-zat polutan pada air limbah.

Produk-produk berbahan kelor juga menjadi komoditas ekspor, negara tujuan ekspor produk kelor dari Indonesia diantaranya adalah Selandia Baru, Timur Tengah, Filipina, Korea Selatan, Jepang, Australia dan Jerman.

Dua provenan (asal geografis) kelor yakni Timor dan Riau, ditanam pada plot penelitian tanaman kelor di KHDTK Kepau Jaya.

Pada umur 3 bulan tanaman kelor mampu mencapai tinggi 190 cm dengan diameter pangkal batangnya mencapai 25 mm.

Sebagai perbandingaan dengan tanaman kelor di lahan mineral, hasil penelitian Oksilia dan Dewi (2021), pada umur 3 bulan tanaman kelor penelitiannya mencapai tinggi 213 cm dengan diameter 21 cm.

Perbandingan ini menunjukkan perbedaan yang wajar dan masih sangat memungkinkan untuk sama-sama dioptimalkan.

Juga membuktikan bahwa tanaman kelor layak untuk dibudidayakan di lahan gambut, bahkan sangat cocok untuk ditanam bersama tanaman lainnya, seperti empon-empon, talas, sereh/serai, porang, atau kombinasi dengan tanaman buah-buahan seperti manggis, jeruk dan kopi rawa.

Peluang budidaya kelor di lahan gambut terdegradasi bisa menjadi solusi alternatif dalam mengatasi masalah lingkungan dan masalah sosial ekonomi.

Namun demikian, pada tataran praktis pelaksanaannya perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah melalui fasilitasi, sosialisasi, kebijakan dan program-programnya.

Akademisi dan periset melalui penelitian dan inovasinya, pengusaha melalui investasinya, dan tentunya adalah masyarakat pegiat dan petani kelor melalui kelembagaannya.

Kontinyuitas ketersediaan stok bahan baku kelor untuk industri pengolahan makanan dan non makanan berbahan baku kelor merupakan syarat utama keberlangsungan industri produk berbasis kelor.

Lahan gambut terdegradasi dengan permasalahan sosial ekonomi yang tinggi, menjadi alternatif yang layak untuk dicoba bagi budidaya kelor sebagai sumber pasokan bahan baku industri produk-produk berbasis kelor baik skala rumah tangga, maupun yang besar.

Tak ketinggalan, dengan semakin banyaknya generasi penerus yang gemar mengkonsumsi kelor, diharapkan akan banyak muncul Nono-nono lainnya di tanah air tercinta ini.

Hery Kurniawan, S.Hut.,M.Sc
Peneliti Madya - Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi,
Badan Riset dan Inovasi Nasional

https://www.kompas.com/sains/read/2023/04/18/143400323/potensi-superfood-di-lahan-gambut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke