Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perubahan Iklim dan Epigenetik

Iklim dapat berubah secara alami. Namun sejak abad 19, diperkirakan aktivitas manusia telah menjadi faktor utama perubahan iklim dunia, terutama dengan pemakaian bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam yang dapat menghasilkan gas rumah kaca.

Gas yang dihasilkan ini akan memerangkap panas sehingga menimbulkan efek yang dinamakan pemanasan global.

Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim), terjadi peningkatan suhu Bumi sekitar 0,74°C ±0,18°C dalam rata-rata 100 tahun terakhir, sehingga memicu adanya perubahan iklim dunia.

Secara umum, pemanasan global akan berdampak negatif pada berbagai bidang termasuk salah satunya aktivitas pertanian. Pemanasan global diprediksi akan berdampak pada semakin tinggi cekaman (stres) lingkungan dan meningkatnya jumlah lahan pertanian kurang optimal di Indonesia.

Akhirnya, hal itu akan berdampak signifikan terhadap turunnya produktivitas pertanian nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis diprediksi mengalami peningkatan signifikan cekaman lingkungan akibat pemanasan global, seperti suhu tinggi, kekeringan, banjir, dan cekaman peningkatan kadar garam (salinintas).

Suhu tinggi dan kekeringan dapat memberikan dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman budidaya. Selain itu, perubahan iklim menimbulkan bencana banjir di beberapa tempat sehingga petani gagal panen akibat sawahnya terendam banjir dari curah hujan yang tinggi atau akibat banjir rob.

Kondisi demikian akan memperburuk dan menyumbang terjadinya kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, dan stunting di sejumlah wilayah Indonesia. Kerawanan pangan menjadi bencana yang menakutkan akibat dampak perubahan iklim ini.

Adaptasi molekuler

Perubahan iklim mendorong semua organisme atau makhluk hidup melakukan proses adaptasi agar dapat menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan yang ada. Secara alami, proses adaptasi ini merupakan bagian dari seleksi alam terhadap kehidupan yang ada di Bumi.

Tanaman juga akan melakukan proses adaptasi mulai dari tingkat paling kecil, yaitu tingkatan molekuler. Pada tingkatan molekuler ini, mekanisme adaptasi dapat berupa respon ekspresi dari suatu gen pengendali cekaman akibat perubahan iklim, misalnya peningkatan suhu atau perendaman air akibat banjir. Respons ekspresi gen akan berubah yaitu meningkat atau menurun.

Mekanisme molekuler cekaman abiotik seperti peningkatan suhu diprediksi mengontrol dan memicu aktivitas gen spesifik yang berhubungan dengan cekaman tanaman. Gen tertentu akan berpartisipasi dalam kontrol transkripsi, radikal bebas dan kendali senyawa beracun, pensinyalan membran sel, dan respon perlindungan molekuler akibat cekaman.

Salah satu contoh gen spesifik yang terinduksi oleh cekaman peningkatan suhu yaitu dari kelompok gen HSP (heat shock protein). Pada suatu studi ditemukan, gen HSP akan meningkat ekspresinya pada tanaman yang memiliki genotipe toleran cekaman suhu tinggi dibandingkan dengan tanaman genotipe rentan terhadap suhu tinggi.

Hal itu akan mendorong tanaman tersebut beradaptasi sehingga mampu bertahan hidup walaupun terjadi cekaman lingkungan.

Dalam proses metabolisme tanaman, peningkatan suhu akan berdampak antara lain berkurangnya laju fotosintesis dan aktivitas respirasi sel yang mengarah ke siklus hidup yang lebih pendek dan tanaman berkurang produktivitasnya.

Cekaman suhu tinggi dan kekeringan dapat memodifikasi akumulasi pati, sintesis sukrosa, dan proses metabolisme lainnya. Respon awal adaptasi dari tekanan suhu tinggi pada tanaman antara lain penurunan aktivitas enzim, perubahan struktural protein kompleks, serta perubahan struktur kloroplas tempat berlangsungnya proses fotosintesis.

Selain itu, permeabilitas membran pada sel tanaman yang berperan dalam proses pemanjangan, diferensiasi, dan perluasan sel juga akan berubah akibat cekaman lingkungan.

Epigenetik

Perkembangan teknologi rekayasa genetika pada era modern yang spektakuler berperan penting dalam modifikasi sifat fenotipik (fisik) pada tanaman pertanian. Kini, banyak ditemukan berbagai gen yang bertanggung jawab dalam mengendalikan protein fungsional untuk adaptasi kondisi cekaman lingkungan.

Namun, seringkali ditemukan sifat kenampakan luar (fisik) tanaman yang diinginkan tidak selalu berjalan searah mengikuti keberhasilan proses transformasi gen yang ditargetkan. Rupanya, mekanisme adaptasi tanaman juga memunculkan suatu fenomena baru yaitu dijumpai perubahan penampakan luar yang dikenal sebagai fenotipe, akan tetapi tidak terjadi perubahan genotipe (sifat genetik) atau susunan genetiknya.

Regulasi struktur genetik dalam respon cekaman lingkungan pada tanaman memang tidak mudah dipahami karena kompleksitas mekanisme molekuler pada regulasi pasca transkripsi. Transkripsi merupakan bagian dari rangkaian ekspresi genetik, yaitu pengubahan dari susunan DNA menjadi RNA.

Fenomena baru mengenai ketidaksesuaian antara penampakan luar dengan genotipenya ini dapat diterangkan menggunakan keilmuan epigenetik. Epigenetik merupakan suatu fenomena tentang perubahan ekspresi gen yang diwariskan, yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA yang mendasari perubahan fenotipe (fisik) tanpa perubahan genotipe (genetik). Namun pada akhirnya akan memengaruhi cara sel membaca gen.

Mekanisme epigenetik itu dapat diturunkan, tetapi tidak mengikuti pola pewarisan genetika yang diketahui. Perubahan epigenetik sebenarnya merupakan suatu fenomena biasa dan alami tetapi dapat dipengaruhi dan semakin meningkat karena faktor perubahan kondisi lingkungan.

Pada proses adaptasi tanaman terhadap perubahan lingkungan, berbagai mekanisme epigenetik yang memengaruhi pola ekspresi gen di antaranya metilasi DNA, microRNAs (miRNAs), dan modifikasi histone.

Metilasi DNA merupakan salah satu mekanisme epigenetik yang memiliki peranan penting yaitu sebagai faktor utama yang mampu memengaruhi ekspresi gen melalui gangguan terhadap mekanisme transkripsi dan pergerakan transposon.

Metilasi DNA dapat berpengaruh terhadap pola ekspresi gen spesifik, mengendalikan proses pencetakan RNA, mengaktifkan elemen transposon dan gen terkait elemen transposon, terutama transposon yang mampu merespon perubahan lingkungan, seperti perubahan iklim.

Fenomena itu dapat dijumpai salah satunya pada tanaman kelapa sawit yaitu meningkatnya persentase buah mantle akibat aktivitas dari transposon yang dapat memicu turunnya produktifitas.

Jenis mekanisme epigenetik lainnya yaitu aktivitas dari microRNA (miRNA) yang dapat memengaruhi gen ketahanan terhadap kondisi cekaman lingkungan pada suatu tanaman dapat diekspresikan atau tidak. MiRNA merupakan sekuense pendek terdiri dari 19 hingga 24 nukleotida, RNA untai tunggal, tidak berfungsi sebagai penyandi (non-coding), dan memiliki peranan sebagai regulator pasca-transkripsi ekspresi gen pada tanaman.

Diketahui juga bahwa miRNA mampu menanggapi beberapa cekaman lingkungan, di antaranya perubahan suhu, kekeringan, dan salinitas.

Pada penelitian tanaman padi diketahui bahwa padi dengan genotipe (sifat genetik) toleran terhadap cekaman suhu tinggi teridentifikasi memiliki jumlah miRNA yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan padi yang rentan, sehingga ekspresi gen pada tanaman toleran tidak banyak terganggu oleh aktivitas miRNA.

Selain aktivitas metilasi DNA dan miRNA, pengaruh cekaman lingkungan dapat memodifikasi struktur histone di DNA tanaman. Modifikasi yang dilakukan oleh tanaman ini dapat berfungsi seperti memori yang memiliki peran dalam adaptasi tanaman saat menghadapi kondisi cekaman lingkungan.

Mitigasi

Dalam upaya mencegah situasi yang semakin buruk akibat perubahan iklim, sebaiknya kita mulai melakukan langkah-langkah mitigasi terutama dalam bidang pangan dan pertanian. Salah satu langkah yang didorong yaitu usaha pemuliaan tanaman yang toleran terhadap perubahan iklim yang memicu berbagai perubahan kondisi lingkungan.

Pemuliaan tanaman tidak lagi hanya berpegang pada cara-cara konvensional yaitu melihat fenomena sifat-sifat fisik saja, tetapi juga memahami pada tingkatan molekuler. Peneliti dan akademisi Indonesia juga sudah seharusnya mulai sungguh-sungguh mengkaji lebih mendalam mengenai epigenetik pada berbagai tanaman.

Melalui pendekatan keilmuan epigenetik diharapkan mampu melakukan inovasi dalam menghasilkan tanaman kultivar-kultivar baru yang dapat digolongkan kedalam teknik pemuliaan tanaman non-transgenik. Hasil pemuliaan itu nantinya dapat dimanfaatkan dalam upaya menghasilkan tanaman pertanian dengan produktivitas tinggi dan adaptif terhadap perubahan iklim global.

Keberadaan tanaman toleran terhadap berbagai cekaman lingkungan terutama akibat perubahan iklim dirasa sangat mendesak guna menjaga kestabilan pasokan kebutuhan pangan dunia.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/11/23/132400723/perubahan-iklim-dan-epigenetik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke