Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Membedakan Batuk Tuberkulosis dengan Covid-19?

Indonesia menyumbang kasus baru mencapai 824 ribu dan 93 ribu kasus kematian per tahun atau setara dengan adanya 11 kematian per jam.

Penyakit TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini paling sering menyerang paru-paru, namun ada organ tubuh lain yang juga dapat terserang penyakit tuberkulosis, seperti tulang belakang, kelenjar getah bening, kulit, ginjal, dan selaput otak.

Dokter Spesialis Paru dr Erlina Burhan, Sp.P (K) mengatakan, bagi pasien yang terdiagnosis terinfeksi penyakit TB, maka harus melakukan terapi pengobatan hingga selesai.

“Pengobatan (penderita TB) harus sampai selesai,” ujar Erlina dalam webinar yang diadakan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Rabu (23/3/2022).

Erlina menjabarkan, terdapat beberapa gejala yang dapat diwaspadai sebagai penyakit tuberkulosis, dengan gejala terbanyak yang dilaporkan adalah batuk dalam jangka waktu panjang.

Selain itu, gejala terinfeksi TB meliputi sesak napas, batuk darah, demam dalam periode yang lama, lemas, penurunan berat badan, keringat malam, dan penurunan nafsu makan.

Di tengah pandemi Covid-19, mayoritas pasien dengan infeksi dari virus corona juga melaporkan gejala batuk. Hal ini membuat batuk dari infeksi Covid-19 dan tuberkulosis sedikit samar untuk membedakannya.

Lantas, bagaimana membedakan batuk TB dengan Covid-19?

Menurut Erlina, batuk yang diakibatkan oleh tuberkulosis berbeda dengan batuk dari infeksi Covid-19.

Ia menjelaskan, batuk akibat infeksi TB biasanya berdahak, sedangkan batuk yang timbul dari infeksi Covid-19 adalah batuk kering.

“Membedakannya dengan Covid-19, batuk Covid-19 kering, batuk TB dahak,” kata dia.

Erlina menegaskan, orang normal atau orang sehat tidak akan mengalami batuk, sehingga apabila seseorang batuk secara terus-menerus, maka dapat mengarah ke suatu penyakit.

“Kalau batuk terus-menerus mestinya ada penyakit, umumnya secara normal orang tidak batuk,” tutur dia.

Apabila batuk hilang timbul, lanjutnya, berulang lebih dari dua minggu, maka kemungkinan terpapar TB.

“Tanyakan gejala lain seperti lemas, nafsu makan turun, berat badan turun,” papar Erlina.


Faktor risiko

Menurut dia, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terkena TB, salah satunya lingkungan.

Seseorang yang tinggal di lingkungan padat tanpa ventilasi yang baik, menambah risiko terkena infeksi TB, terutama apabila terdapat anggota keluarga yang terpapar penyakit ini.

“Perumahan yang berdempet, tidak ada ventilasi, jendela tidak dibuka, bahkan mungkin rumah tidak ada jendela. Kalau di rumah demikian, ada satu pasien TB batuk mengeluarkan kuman, maka dapat terinfeksi dan belum tentu langsung sakit,” jelasnya.

Sebagai tambahan informasi, penularan tuberkulosis umumnya terjadi melalui udara. Saat penderita TB aktif memercikkan lendir atau dahak saat batuk atau bersin, bakteri TB akan ikut keluar melalui lendir tersebut dan terbawa ke udara.

Selanjutnya, bakteri TB akan masuk ke tubuh orang lain melalui udara yang dihirupnya.

Selain itu, faktor risiko yang dapat meningkatkan terpapar TB yaitu komorbid atau penyakit penyerta yang menyerang sistem imunitas seseorang seperti HIV, diabetes, dan autoimun.

Perlu diketahui, seseorang yang terinfeksi TB dapat tidak langsung bergejala atau mengembangkan penyakitnya dalam waktu lama.

“Kalau sistem imun lemah, kuman masuk sedikit bisa jadi penyakit. (Tapi terdapat kasus) TB kuman masuk tidak langsung sakit, ada masa inkubasi lebih dari dua minggu, bahkan bertahun-tahun,” pungkas dia.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/03/24/160300323/bagaimana-membedakan-batuk-tuberkulosis-dengan-covid-19-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke