Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gunung Anak Krakatau Meletus 2018 karena Longsor Bukan Ledakan Vulkanik, Studi Jelaskan

KOMPAS.com - Studi terbaru mengungkapkan bahwa letusan Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu, bukan disebabkan oleh aktivitas ledakan vulkanik melainkan dipicu oleh longsor.

Lebih dari 400 orang meninggal saat Gunung Anak Krakatau meletus pada 2018 lalu. Sementara, 7.000 orang lainnya terluka dan hampir 47.000 orang mengungsi dari rumah mereka.

Dalam sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters dengan judul "Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau", mengungkap fakta dibalik penyebab Gunung Anak Krakatau meletus pada tahun 2018.

Anak Krakatau telah meletus selama sekitar enam bulan sebelum keruntuhan dan memperlihatkan lebih dari dua pertiga dari ketinggiannya meluncur ke laut saat pulau itu seolah terbelah menjadi dua. 

Peristiwa letusan Gunung Anak Krakatau pada 2018 silam tersebut memicu gelombang tsunami di perairan Selat Sunda, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang.

Studi Gunung Anak Krakatau yang meletus 2018

Salah satu tim peneliti dalam studi ini, Mirzam Abdurrachman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menceritakan bahwa penelitian ini dilakukan atas inisiasi Institut Teknologi Bandung, Universitas Oxford pada tahun 2017.

Dalam perjalanan inisiasi penelitian ini, banyak mahasiswa dari kedua universitas ini yang terlibat, juga berbagai institusi lainnya seperti British Geological Survey, Universitas College London, Universitas Birmingham, University of Southampton, University of Rhode Island, dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Mirzam mengatakan bahwa riset ini sebenarnya merupakan projek penelitian jangka panjang.

Tim peneliti pada awalnya akan mempelajari letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883. Namun, ketika proses mempelajari peristiwa Gunung Krakatau yang meletus tahun 1883 tersebut berjalan, ternyata terjadi letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 tersebut.

Dengan adanya kejadian itu, lalu target riset kedua dari riset ini yaitu memetakan kembali Gunung Krakatau secara geologi sebelum dan pasca letusan gunung tahun 2018.

"Jadi kita punya dua riset utama sebenarnya, mempelajari kembali (Gunung Krakatau meletus) 1883, dan juga letusan (Gunung Anak Krakatau) 2018," kata Mirzam kepada Kompas.com, Rabu (19/1/2022).

Hasil studi penyebab runtuhnya Gunung Anak Krakatau

Dari hasil penelitian yang didapatkan saat ini, Mirzam menjelaskan bahwa ternyata secara proses terjadinya ledakan besar di Gunung Krakatau tersebut berbeda dari kejadian pada tahun 1883 dan 2018.

Untuk letusan Gunung Krakatau 1883, penyebab atau pemicu utama terjadinya ledakan besar tersebut adalah aktivitas vulkanik dari dalam gunung itu sendiri.

Sedangkan, kata Mirzam, ini berbeda dengan yang terjadi pada peristiwa ledakan Gunung Anak Krakatau tahun 2018 yang ternyata tidak disebabkan atau dipicu oleh aktivitas vulkanik.

Ledakan atau erupsi yang terjadi di Gunung Anak Krakatau pada 2018 tidak diawali oleh letusan vulkanik atau magma di dalam gunung api tersebut yang lantas memicu gelombang tsunami. Tetapi, justru terjadi akibat adanya longsor.

"Longsor itu yang kemudian menghasilkan tsunami. Longsor itu menyebabkan juga kawahnya terbuka dan magmanya berinteraksi sama air, baru terjadi letusan besar," jelasnya.

"Jadi prosesnya berbeda, letusan besarnya itu di belakang (untuk ledakan Gunung Anak Krakatau) 2018," tambahnya.

Ledakan saat Gunung Anak Krakatau meletus merupakan hasil dari pemeriksaan material vulkanik dari pulau-pulau terdekat, dan melihat karakteristik fisik, kimia serta mikroteksturnya. 

Para peneliti mencari petunjuk dengan menggunakan materila vulkanik yang ada untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.

Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung. 

Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.

Jenis ledakan Anak Krakatau 2018 sulit diprediksi

Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi.

Namun peristiwa Anak Krakatau meletus pada 2018 ini tidak dipicu dari dalam, melainkan dari luar, yaitu dengan hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba, maka tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.

Hal itu dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.

Dengan begitu untuk letusan Gunung Anak Krakatau tahun 2018, diakui Mirzam menjadi cukup sulit untuk dideteksi.

Hal ini dikarenakan, magma di gunung tersebut masih berada di kedalaman yang cukup dalam ketika letusan terjadi.

Ia menjelaskan, diketahui keberadaan magma masih berada di kedalaman yang cukup dalam saat letusan 2018 terjadi itu karena tim peneliti telah mempelajari kristal yang ada di bebatuan sekitar area letusan terjadi ukurannya masih relatif kasar.

"Tahunya dari mana? Kita melihat kristal yang ada di batuan itu ukurannya masih relatif kasar, artinya magma itu tidak berada pada dekat permukaan, sehingga nanti kalau dia (kristal) ada di dekat permukaan kristal-kristalnya itu jadi ukurannya halus karena pendinginan yang cepat," jelasnya.

Oleh karena itu, para peneliti meyakini bahwa pemicu atau penyebab letusan Gunung Anak Krakatau saat itu adalah longsor, dan ini membuat pengamatannya menjadi penting serta berbeda dari sebagian besar erupsi akibat ledakan vulkanik lainnya.

“Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan sering kali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma, seperti gabus sampanye yang meletus," ujar Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham, sekaligus penulis senior makalah tersebut yang dilansir dari laman Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut. 

“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/21/080100623/gunung-anak-krakatau-meletus-2018-karena-longsor-bukan-ledakan-vulkanik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke