Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai Remaja Klitih di Yogyakarta, Psikolog Sebut Keluarga Jadi Faktor Penyebabnya

KOMPAS.com - Media sosial baru-baru ini digemparkan dengan aksi kejahatan jalanan atau kerap disebut klitih yang dilakukan remaja di Yogyakarta. Aksi viral ini kemudian ramai diperbincangkan di Twitter, bahkan muncul tagar #SriSultanYogyaDaruratKlitih.

Aksi klitih adalah salah satu kejahatan jalanan, yang kebanyakan dilakukan remaja, dan istilah ini populer di Yogyakarta.

Dugaan aksi klitih ini sebelumnya dibagikan oleh salah satu netizen yang mengaku dipepet oleh seseorang saat berkendara di daerah underpass Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Ketika itu pelaku menggunakan motor dan mendekati dari sebelah kiri lalu memegang tangan korban.

Tak lama, korban menyadari bahwa lengannya terluka karena disayat oleh benda tajam.

Terkait fenomena klitih ini, Praktisi Psikologi di Kota Solo Hening Widyastuti mengungkapkan, bahwa wilayah Yogyakarta sebenarnya jauh dari kenakalan remaja.

Akan tetapi, menurutnya saat ini ada banyak pergeseran nilai-nilai ataupun norma di keluarga dalam pola pendidikan, serta pola asuh keluarga terhadap anak. Terlebih, banyak orang tua yang sibuk mencari nafkah karena kebutuhan ekonomi.

Misalnya pada mereka dengan ekonomi menengah ke bawah yang harus menyekolahkan dan memberi makan anak-anaknya sehingga waktu untuk anak tersita hanya untuk mencari uang.

"Pada usia remaja biasanya mereka mulai renggang (hubungannya dengan keluarga), mulai punya kelompok kecil dari teman-teman mereka. Mereka sudah mulai merasa sudah besar padahal belum, secara pola pikir belum dewasa. Karena merasa dia sudah dewasa akhirnya mulai merenggang dari orang tua," ujar Hening saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/12/2021).

Dijelaskan Hening, kenakalan remaja seperti aksi klitih remaja di Yogyakarta juga bisa dipengaruhi oleh mudahnya akses ke media sosial di mana terdapat banyak konten kekerasan.

"Anak-anak jadi tidak terkontrol, tidak ada interaksi bonding (keterikatan) dengan orang tua, akhirnya jadi tidak terkendali. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan kelompok-kelompoknya," katanya.

Para remaja yang bergabung dengan kelompok positif tentu akan berdampak pada kegiatan positif juga. Sebaliknya, kelompok yang membawa hal negatif maka dampak yang didapatkan pun akan negatif.

Pasalnya, Hening menjelaskan bahwa remaja cenderung labil dan emosinya masih tinggi, ditambah kontrol dari keluarga atau orang tua sangat kurang karena kesibukan mencari nafkah.

Maka ada peluang besar bagi anak-anak yang memiliki kelompok dengan banyak kegiatan negatif untuk melakukan kekerasan seperti klitih Yogyakarta.

"Jadi ada masalah kecil, ada yang sakit hati kemudian dia lapor kelompoknya dan merasa saling sehidup semati, akhirnya terjadilah tawuran dan sebagainya tanpa dia berpikir panjang konsekuensi di belakangnya ada apa," imbuhnya.

Pendekatan terhadap remaja

Hening menuturkan, para remaja yang terlibat kekerasan harus didampingi oleh berbagai pihak. Proses pendekatannya dapat dilakukan dari keluarga, sekolah, serta pemerintah.

"Dari sekolah, guru-guru dan kepala sekolah harus ada pendekatan dengan anak-anak. Jadi jangan nge-judge ini anak-anak nakal dulu, tapi kita bisa explore kelebihan dia apa kemudian diberdayakan kelebihannya," lanjutnya.

Dia juga menambahkan pemerintah harus turut andil di dalam permasalahan aksi klitih remaja di Yogyakarta ini.

Banyak aktivitas positif yang dapat dilakukan para remaja misalnya di bidang olahraga ataupun sains, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut bisa difasilitasi oleh pemerintah.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/30/160000723/ramai-remaja-klitih-di-yogyakarta-psikolog-sebut-keluarga-jadi-faktor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke