Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pasien PPOK dan Asma Kena Covid-19, Bolehkah Pakai Terapi Inhalasi Kortikosteroid?

BERTEPATAN dengan hari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sedunia yang jatuh pada tanggal 17 November 2021 dan mengusung tema “healthy lung-never more important”, menyoroti pentingnya pengetahuan masyarakat dalam memelihara kesehatan pernafasan, masalah penyakit paru di dunia terasa belum usai.

Ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang belum kunjung selesai. Bahkan, beberapa negara sedang dihantam gelombang ketiga dan terpaksa harus melakukan “lockdown” kembali.

Seperti yang kita ketahui, Covid-19 merupakan wabah pandemik yang berita penyebarannya kali pertama diumumkan WHO pada 5 Januari 2020. Thailand kemudian menjadi negara pertama di luar China yang melaporkan kasus pertamanya pada 13 Januari 2020.

Di Indonesia sendiri, kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020. Indonesia telah melewati gelombang pertama dan kedua berdasarkan jumlah kasus penderita Covid-19 hariannya.

Gelombang pertama terjadi dalam rentang waktu November 2020 sampai dengan Januari 2021 dengan kasus mingguan rata-rata naik sampai dengan empat kali lipat dan mencapai puncaknya di antara tanggal 19 – 25 Januari dengan rata-rata kasus mingguannya mencapai 89.052 kasus.

Sementara itu, gelombang kedua terjadi dalam rentang waktu Mei 2021 sampai dengan Juli 2021 dengan kasus mingguan rata-rata naik sampai dengan tujuh kali lipat dan mencapai puncak antara tanggal 6 – 12 Juli 2021 dengan rata-rata kasus mingguannya 253.600 kasus, menurut data satgas Covid-19 Republik Indonesia.

Sampai sekarang, kasus terkonfirmasi Covid-19 di seluruh dunia mencapai angka di atas 200 juta (menurut data WHO) dan di Indonesia, kasus terkonfirmasi mencapai angka di atas 4 juta orang (menurut data Satgas Covid 19).

Covid-19 sudah menjadi salah satu keyword yang paling dicari di mesin pencarian dunia maya dan sering menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. Ia merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dan mempengaruhi pernapasan dengan gejala akut yang berat.

Di Indonesia sendiri, case fatality rate (tingkat fatalitas kasus) mencapai di atas tiga persen per oktober 2021. Ini merupakan salah satu angka tertinggi di Asia.

Covid-19 kemudian memberikan ketakutan sendiri bagi mereka yang memiliki penyakit saluran nafas sebelumnya seperti PPOK atau pun asma.

Bagi para pasien asma dan PPOK, terapi inhalasi dengan kortikosteroid merupakan terapi pilihan utama.

Apa itu inhalasi kortikosteroid ?

Inhalasi kortikosteroid digunakan untuk menangani inflamasi yang menjadi dasar dari penyakit asma dan PPOK. Penggunaan obat ini yang rutin biasanya dapat mengontrol gejala asma dan PPOK sehingga pasien dapat beraktivitas dengan normal.

Pada awal tahun 2020, terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid, walaupun memiliki efek imunosupresan, dapat mengurangi fungsi reseptor ACE2 yang merupakan jalan masuk dari virus Covid-19 sehingga menghambat replikasi RNA Covid-19 in vitro dan aktivitas sitopatik dari virus ini.

Namun, sebuah studi kohort observasional yang ditulis oleh Schultze et al pada tahun 2020 dengan mengobservasi hampir 1 juta subjek dengan asma dan PPOK selama 4 bulan menunjukkan bahwa pengunaan inhalasi kortikosteroid justru dapat memperburuk gejala asma dan PPOK dari pasien dengan penyakit tersebut.

Akan tetapi hingga saat ini, bukti yang cukup mengenai efek baik dan efek buruk dari inhalasi kortikosteroid masih belum ada.

Pandemi virus corona 2019 (Covid-19) saat ini, yang disebabkan oleh infeksi sindrom pernapasan akut-coronavirus 2 (SARS-CoV-2), menimbulkan pertanyaan penting apakah pemberian kortikosteroid inhalasi (ICS) yang berkelanjutan mempengaruhi hasil dari infeksi saluran pernapasan akut karena coronavirus.

Banyak dokter yang khawatir tentang apakah individu yang positif SARS-CoV-2 dan menggunakan ICS harus melanjutkan atau menghentikannya, mengingat ICS sering dianggap memiliki efek menekan imunitas.

Sejumlah pertanyaan kunci muncul. Apakah orang dengan asma atau PPOK berisiko lebih tinggi terkena Covid-19? Apakah ICS memodifikasi risiko ini, baik meningkatkan atau menurunkannya? Apakah ICS memengaruhi perjalanan klinis Covid-19?

Pertanyaan apakah ICS memodifikasi risiko pengembangan Covid-19 atau perjalanan klinis Covid-19 pada orang yang tidak memiliki penyakit paru-paru juga harus dipertimbangkan
Di beberapa negara seperti Arab Saudi, inhalasi kortikosteroid sudah dimasukkan ke dalam pedoman penatalaksanaan Covid-19 sebagai anti inflamasi poten.

Menurut EMA (European Medicine Agency), belum ada bukti yang cukup kuat mengenai penggunaan kortikosteroid inhalasi yang memberikan manfaat berarti pada pasien Covid-19, namun tidak ada juga isu keselamatan dalam pengunaan obat ini. Data mengenai efek Inhalasi kortikosteroid pada angka mortalitas Covid-19 juga masih minim sekali.

Namun sebagai praktisi klinis di Indonesia, pasien asma dan PPOK di masa pandemi ini harus tetap memakai obat inhalasi secara rutin untuk mengurangi eksaserbasi dan angka rawat inap serta rawat jalan, sehingga pasien dapat tetap beaktivitas dengan normal setiap hari, dan tentunya tetap melaksanakan vaksinasi dan melakukan protokol kesehatan.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/18/193000623/pasien-ppok-dan-asma-kena-covid-19-bolehkah-pakai-terapi-inhalasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke