Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Potensi Tsunami Selat Sunda dan Letusan Gunung Krakatau di Masa Lalu

KOMPAS.com - Bencana tsunami tidak hanya dipicu oleh aktivitas gempa bumi besar. Potensi tsunami di Selat Sunda juga dapat disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau, bahkan di masa lalu pernah dipicu oleh letusan dahsyat Gunung Krakatau.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam webinar edukasi kebencanaan untuk mengajak masyarakat belajar dari sejarah bencana tsunami dan dampak letusan Gunung Anak Krakatau.

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi kunci dalam mencegah maupun menghindari dampak bencana di kawasan pesisir Selat Sunda.

Tak hanya dampak bencana dari letusan Gunung Anak Krakatau, tetapi juga potensi gempa dari segmen tektonik di sebelah barat-selatan Selat Sunda.

Sejarah tsunami Selat Sunda

Dalam webinar Disaster, Decision dan Development: Tsunami Krakatau 1883 dan 2018 serta Pembelajarannya untuk Mitigasi ke Depan, BNPB menghadirkan sejumlah narasumber yang menyampaikan pengetahuan mitigasi dan sejarah bencana tsunami dan erupsi Gunung Anak Krakatau.

Peneliti Indonesia di GNS Science New Zealand Dr. Aditya Gusman menjelaskan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana geologi di masa yang akan datang.

Ia menekankan pentingnya mengambil pembelajaran dari bencana tsunami Selat Sunda yang dipicu oleh aktivitas vulkanik dari letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 dan letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 lalu. Sebab, potensi tsunami di kawasan ini dapat terjadi kapan saja.

Gelombang tsunami, kata Aditya, dapat terjadi karena caldera collapse dan pyroclastic flow.

Dalam sejarah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, tsunami di kawasan Selat Sunda kala itu rendamannya mencapai jarak 5 km ke daratan di wilayah Pandeglang dan 800 meter di Cianyer.

Akibat peristiwa itu, Ujung Kulon harus terpisah dari bagian Pulau Jawa, akibat rendaman tsunami.

Jejak nyata dari dampak tsunami di Sungai Cianyer masih bisa dilihat hingga saat ini, dari bagian menara mercusuar yang terbawa oleh tsunami Gunung Krakatau di sungai tersebut.

"Bagian dari menara mercusuar yang hancur dihantam tsunami dan coral ini masih bisa terlihat hingga kini, coral boulder yang terbawa dari laut oleh tsunami pun masih ada sampai sekarang," ujar Aditya dalam webinar saat memaparkan tentang potensi tsunami Selat Sunda yang dipicu oleh letusan Gunung Krakatau di masa lalu, Kamis (26/8/2021).

Dalam paparannya, Aditya menggambarkan bahwa gelombang tsunami yang terjadi di perairan dalam akan memiliki kecepatan yang cukup tinggi.

Saat memasuki perairan dangkal, maka kecepatan gelombang mulai turun, sehingga menghasilkan gelombang yang lebih tinggi saat mendekati perairan pantai.

"Tsunami saat itu memicu ketinggian hingga 41 meter di wilayah Merak dan 2,6 meter di Batavia," kata Aditya.

Dampak tsunami Gunung Anak Krakatau

Pada tahun 2018 lalu, peristiwa tsunami menghantam wilayah pesisir Banten dan Lampung, yang menyebabkan ratusan orang tewasm ribuan orang terluka dan puluhan orang hilang.

Associate Professor Dr. Mohammad Heidarzadeh dari Universitas Brunel, narasumber lain dalam webinar tersebut telah mempelajari dampak tsunami yang dipicu oleh guguran material dari lereng Gunung Anak Krakatau pada 2018 lalu.

Heidarzadeh mengatakan bahwa akibat tsunami yang disebabkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau, menyebabkan banyak rumah rusak.

Sebab, menurutnya, banyak bangunan di kawasan pesisir yang dibangun di dataran rendah, namun tidak memperhatikan ketahanan struktur bangunan yang baik.

Akibatnya, saat tsunami terjadi, banyak rumah dan bangunan yang hancur, terutama yang berada pada jarak 100 meter dari pantai.

Berdasarkan analisis tersebut, Heidarzadeh menekankan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap bencana tsunami, standar bangunan dan rekayasa sipil terhadap dampak tsunami.

Selain itu, ia juga menekankan bahwa sistem peringatan dini tsunami, semestinya tidak hanya bersumber dari aktivitas tektonik saja.

Sebab, hal itu mengingat tsunami Selat Sunda yang terjadi pada saat itu dipicu oleh aktivitas vulkanik dari letusan Gunung Anak Krakatau.

"Indonesia merupakan kawasan dengan struktur tektonik yang rumit, seperti banyak zona subduksi, sesar maupun gunung api," kata dia.

Oleh karena itu, kajian saintifik atau ilmiah untuk membangun kesiapsiagaan bersama dibutuhkan lebih banyak data yang lebih detil, maupun kajian dan analisis dari data-data tersebut.

"Kita tidak cukup memiliki data tsunami dan gempa bumi di Indonesia secara umum" imbuh Heiderzadeh.

Melalui edukasi kebencanaan dalam webinar ini, BNPB berharap pemeliharaan bukti sejarah masa lalu, khususnya terkait bencana tsunami yang dipicu oleh Gunung Krakatau dan Anak Krakatau ini dapat menjadi edukasi bagi masyarakat.

Sebab, bencana geologi merupakan kejadian yang berulang, sekali dia terjadi di masa lalu pasti akan kembali terjadi di masa mendatang.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/28/090300923/mengenal-potensi-tsunami-selat-sunda-dan-letusan-gunung-krakatau-di-masa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke