Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[POPULER SAINS] Penyebab Jawa Dingin di Malam Hari | Actemra, Obat Covid-19 Rekomendasi WHO

KOMPAS.com - Penyebab dinginnya pulau Jawa di malam hari menjadi salah satu berita populer Sains Kompas.com edisi Kamis, 8 Juli 2021.

Soal Covid-19 menjadi topik menarik yang layak disimak lainnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, WHO merekomendasikan dua obat untuk Covid-19 yang disebut bisa mengurangi risiko kematian hingga mendapat perawatan ventilator. Salah satunya, obat itu adalah actemra.

Ilmuwan pun kini akhirnya memahami kenapa pria lebih mungkin terinfeksi gejala Covid-19 parah.

Hal menarik lainnya adalah tentang letusan dahsyat gunung Toba 74.000 tahun lalu yang disebut sangat berdampak pada iklim. Pertanyaan apakah fenomena ini memengaruhi evolusi manusia akhirnya terjawab.

Berikut rangkumannya:

1. Penyebab Jawa dingin di malam hari bukan Aphelion

Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Herizal menjelaskan, posisi Matahari memang berada pada titik jarak terjauh dari Bumi (Aphelion) pada 6 Juli 2021 lalu.

Akan tetapi ia menegaskan, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer permukaan.

Aphelion sendiri merupakan fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli.

“Sementara itu pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” kata dia.

Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi setiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.

Penyebab suhu dingin di Jawa baca di sini:

Bukan Aphelion, Ini Penyebab Malam Terasa Lebih Dingin di Pulau Jawa

2. Actemra, obat yang direkomendasikan WHO untuk Covid-19

World Health Organization (WHO) telah memberikan rekomendasi untuk memberikan obat Actemra untuk perawatan pasien Covid-19. Actemra adalah merk obat yang berisi Tocilizumab.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., mengatakan bahwa Actemra yang berisi Tocilizumab adalah obat antibodi monoklonal dan merupakan anti interleukin 6.

Obat ini adalah obat untuk mengurangi radang pada pasien rheumatoid arthritis, yaitu penyakit autoimun yang menyerang persendian.

Pada kasus rheumatoid arthritis, jumlah interleukin 6 (IL-6) cukup tinggi, sehingga harus ditekan dengan obat Actemra. Jika tidak ditekan dengan Actemra, interleukin-6 akan memicu peradangan hebat di seluruh tubuh.

Pada pasien Covid-19 ditemukan respons imun yang serupa dengan rheumatoid arthritis, yaitu peningkatan interleukin 6.

Kondisi ini ditemukan pada pasien covid yang menunjukkan gejala berat dan kritis. Peningkatan interleukin 6 akan memicu badai sitokin.

Badai sitokin adalah respons imun tubuh yang berlebihan akibat infeksi. Penyebab badai sitokin ada banyak, salah satunya adalah IL-6.

Selengkapnya baca di sini:

Mengenal Actemra, Obat Rekomendasi WHO untuk Pasien Covid-19

3. Kenapa pria lebih mungkin kena gejala Covid-19 parah

Para pria, diketahui merupakan kelompok yang lebih mungkin menderita kasus Covid-19 gejala parah dan lebih berisiko mengalami kematian.

Terkait hal tersebut, para peneliti mempelajarinya dan menemukan jalur metabolisme yang sangat berkorelasi dengan respons imun pasien pria dengan Covid-19.

Sebuah penelitian baru, yang diterbitkan hari ini di jurnal Science Signaling, mengungkap, bahwa pasien Covid-19 pria lebih mungkin mengalami peningkatan kadar asam kynurenic, produk metabolisme asam amino – dibandingkan dengan pasien Covid-19 wanita.

Kadar asam kynurenic yang tinggi ini biasanya dikaitkan dengan beberapa penyakit, seperti skizofrenia dan penyakit terkait HIV.

Pasien pria dengan kasus Covid-19 yang parah juga lebih mungkin memiliki rasio asam kynurenic yang tinggi terhadap kynurenine - produk sampingan dari asam amino L-triptofan yang digunakan untuk membuat nutrisi niasin.

Selengkapnya baca di sini:

Ilmuwan Ungkap Mengapa Pria Lebih Mungkin Terinfeksi Covid-19 Gejala Parah

4. Dampak letusan gunung Toba 74.000 tahun lalu

Sekitar 74.000 tahun lalu, gunung berapi Toba yang terletak di Sumatera Utara meletus. Letusan gunung berapi itu disebut sebagai letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta terakhir.

Dampaknya bisa dibilang luar biasa karena menyebabkan gangguan iklim dahsyat di banyak wilayah di dunia.

Meski begitu, peristiwa itu menyisakan pertanyaan besar. Terutama, seperti apa dampak letusan gunung Toba purba ini terhadap evolusi manusia.

Hal tersebut penting dipelajari untuk memahami bagaimana perubahan lingkungan memengaruhi evolusi manusia.

Dilansir dari phys.org, Selasa (6/7/2021), kini sebuah studi mengungkap bahwa letusan besar gunung berapi Toba ini ternyata tak memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap manusia yang hidup pada zaman itu.

"Kami tahu letusan ini terjadi. Dan pemodelan iklim masa lalu menunjukkan konsekuensi iklim yang parah. Tetapi catatan arkeologi dan paleoklimat dari Afrika tak menunjukkan respons yang begitu dramatis," ungkap Benjamin Black penulis utama studi dari Rutgers University.

Selengkapnya baca di sini:

Letusan Gunung Toba 74.000 Tahun Lalu Tak Pengaruhi Manusia Purba

https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/09/070000023/populer-sains-penyebab-jawa-dingin-di-malam-hari-actemra-obat-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke