Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjalanan Ventilator dari Wabah Polio hingga Pandemi Covid-19

KOMPAS.com - Ventilator adalah penemuan besar bagi peradaban manusia. Perjalanan sejarah ventilator berawal dari wabah polio, dan kini perannya sebagai penyelamat pasien di tengah pandemi Covid-19.

Kasus Covid-19 terus meningkat dan menyebabkan rumah sakit kewalahan, hingga kekurangan ventilator.

Penemuan ventilator telah memberikan harapan besar bagi kehidupan pasien yang mengalami gagal napas karena suatu penyakit. Demikian pula di masa pandemi virus corona yang tengah dihadapi masyarakat dunia saat ini.

Ventilator memiliki perjalanan panjang yang luar biasa sejak ditemukan sebelum wabah polio tahun 1931.

Melansir Futurity, Kamis (1/7/2021), pada tahun 1931, wabah polio menyerang anak-anak kecil, banyak dari mereka mengalami kelumpuhan paru-paru akibat penyakit ini.

Tiga tahun sebelum wabah polio menyebar, para ilmuwan di Harvard Medical School, menemukan alat ini. Paru-paru besi yang awalnya hanya sebuah logam kotak berbentuk persegi panjang.

Perjalanan ventilator hingga di masa kini, telah menunjukkan berbagai perubahan bentuk dan desain. Tak seperti penampakan ventilator masa kini, yang dikendalikan dengan komputer, dan pasien hanya perlu berbaring di tempat tidurnya, dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di mulut pasien.

Ventilator pertama yang ditemukan saat itu, berukuran besar dan mengharuskan pasien berada di dalamnya, dengan hanya kepala mereka yang menonjol keluar.

Pompa udara dari dua penyedot debu mengubah tekanan di dalam kotak, menarik udara masuk dan keluar dari paru-paru.

Selama tiga dekade berikutnya, paru-paru besi dengan desain yang lebih halus menjadi andalan dalam merawat pasien polio.

Pada tahun 1939, National Foundation for Infantile Paralysis memulai distribusi massal paru-paru besi, yang saat itu, harganya setiap unitnya sekitar 1.500 dollar Amerika, atau seharga rata-rata sebuah rumah.

Kekurangan ventilator juga pernah dialami Amerika pada tahun 1950-an, dalam perjalanan melawan wabah polio, kondisi ini memaksa dokter memasukkan tabung melalui mulut pasien dengan trakeotomi untuk memaksa udara masuk ke paru-paru mereka.

Ventilator mekanis modern

Alat bantu pernapasan ini terus berkembang. Bahkan, bentuk dan ukurannya tidak lagi sama seperti paru-paru besi yang menyelamatkan anak-anak dari wabah polio.

Pada pertengahan tahun 1950-an, ventilator mekanis modern ini lebih kecil, lebih portabel dan dikendalikan secara elektronik oleh microchip untuk menyesuaikan aliran dan tekanan udara secara tepat.

Ventilator ini adalah hasil eksperimen selama tiga abad, dan kini menjadi alat yang sangat dibutuhkan pasien-pasien Covid-19 yang mengalami sesak napas parah akibat infeksi virus corona.

Robert Hookie, ilmuwan yang menciptakan kata sel, adalah orang pertama yang bereksperimen dengan ventilasi mekanis.

Pada abad ke-17, Hooke mendemonstrasikan ventilasi mekanis dapat membantu melakukan pekerjaan paru-paru yang rusak dengan menggunakan penghembusan untuk meniupkan udara ke paru-paru anjing yang terluka.

Selama tahun 1800-an dan awal 1900-an, ventilator tekanan negatif mendominasi, meniru proses pernapasan normal.

Sistem pernapasan ini bekerja saat kita mengembangkan tulang rusuk dan rongga dada, kemudian tekanan di dalam rongga berkurang, menyebabkan paru-paru mengembang.

Itu menyebabkan udara di dalam paru-paru berkurang, sehingga menciptakan tekanan negatif relatif terhadap atmosfer, yang dapat mengakibatkan udara mengalir ke paru-paru melalui inhalasi.

Perkembangan ventilator sebelum menjadi bentuk yang lebih canggih dan modern di masa kini, mengalami berbagai perubahan. Salah satunya ventilator tangki yang digambarkan dokter Skotlandia, John Dalziel pada tahun 1838.

Ventilator tersebut terdiri dari kotak kedap udara, di mana seorang pasien duduk, dengan hanya kepala yang menonjol. Kemudian alat ini akan memompa udara secara manual ke dalam dan keluar kotak menghasilkan tekanan negatif.

Hal ini menyebabkan tekanan negatif "paru-paru besi" dan akhirnya lebih kecil, lebih banyak perangkat portabel yang digunakan untuk mengobati korban polio.

Ventilator untuk pasien Covid-19

Ventilator adalah salah satu penemuan yang mengubah dunia dan terpenting di masa pandemi saat ini.

Pada tahun 1960-an ada upaya untuk beralih dari ventilator tekanan negatif ke perangkat tekanan positif yang memaksa udara masuk ke paru-paru pasien, baik secara non-invasif dengan hidung atau masker wajah untuk masalah pernapasan yang kurang parah atau dengan memasukkan tabung secara invasif di jalan napas pasien.

Perjalanan panjang teknologi ventilator akhirnya memberikan perangkat yang lebih mudah digunakan.

Dalam sebuah makalahnya, Robert Kacmarek, direktur perawatan pernapasan di Rumah Sakit Umum Massachusetts yang juga profesor anestesiologi di Harvard Medical School, menggambarkan perjalanan luar biasa dari ventilator.

"Hanya dalam 50 tahun yang singkat, kami telah beralih dari perangkat yang relatif kasar dan sepenuhnya mekanis yang hanya dapat menyediakan ventilasi volume yang dipicu mesin menjadi sistem yang dikendalikan mikroprosesor yang sangat berkembang yang mampu melakukan segala bentuk dukungan ventilasi yang dapat dibayangkan," tulisnya.

Ada beberapa ventilator yang digunakan untuk merawat pasien Covid-19. Seperti Mesin BiPAP (Bilevel Positive Air Pressure) yang menaikkan tekanan untuk mendorong udara selama inhalasi, lalu menurunkannya untuk memungkinkan ekshalasi.

Alat ini digunakan untuk mengobati apnea tidur obstruktif, gangguan paru obstruktif kronik, pneumonia, serangan asma, pernapasan yang buruk setelah operasi, dan penyakit neurologis yang mengganggu pernapasan.

Pengaturan pada mesin ini memungkinkannya disesuaikan untuk merawat pasien Covid-19.

Selain itu, mesin ventilator tekanan positif invasif yang digunakan untuk pasien yang tidak dapat bernapas sendiri atau menderita penyakit pernapasan parah.

Udara dikirim melalui tabung yang dimasukkan ke dalam jalan napas pasien. Mesin ini, yang digunakan di unit perawatan intensif dan sebagai ventilator anestesi di ruang operasi, serta diperlukan untuk menangani kasus Covid-19 yang parah.

Elizabeth Palermo, asisten profesor keperawatan klinis dan direktur khusus Program Praktisi Perawat Perawatan Akut Gerontologi Dewasa di School of Nursing mengatakan kemajuan teknologi telah meningkatkan pengenalan dan pemahaman tentang risiko yang terlibat dalam ventilasi mekanis.

"Kami telah belajar bahwa terlalu banyak tekanan yang diberikan oleh ventilator lebih lanjut dapat melukai paru-paru, di luar kerusakan yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri," katanya.

Pasien yang menggunakan ventilator rentan terhadap pneumonia, borok kulit, dan kelemahan, di antara masalah lainnya.

Palermo memperingatkan bahwa ventilator tidak menyembuhkan penyakit.

Alat ini memungkinkan tim perawatan kesehatan untuk memberikan perawatan suportif dan memastikan pengiriman oksigen yang memadai selama perawatan.

Kendati demikian, alat ini membutuhkan operator yang berkompeten yang memahami aspek teknis mesin ventilator untuk memastikan ventilator dapat membantu pasien tanpa menyebabkannya cedera.

"Pasien yang sakit kritis dengan gagal pernapasan akibat Covid-19 membutuhkan tim interdisipliner yang berpengetahuan luas yang berkomunikasi satu sama lain untuk mengoordinasikan perawatan pasien itu," imbuhnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/07/02/080200323/perjalanan-ventilator-dari-wabah-polio-hingga-pandemi-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke