Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rio Reifan Kembali Ditangkap, Kenapa Pencandu Sulit Lepas dari Narkoba?

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus juga membenarkan bahwa artis peran Rio Reifan ditangkap kembali terkait kasus dugaan penyalahgunaan dan kepemilikan narkoba. Dari penangkapan ini, Satreskoba Polres Jakarta Pusat menyita barang bukti berupa sabu.

Sebelumnya, Rio Reifan pernah ditangkap pada 8 Januari 2015. Kemudian, pada 13 Agustus 2017 dan pada 14 Agustus 2019. Untuk kasus terakhir, ia baru bebas pada Mei 2020. Semuanya karena kepemilikan dan penyalahgunaan sabu.

Dilansir Kompas.com (20/7/2019), dokter adiksi sekaligus peneliti obat-obatan terlarang dari Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience (IMAN) Jakarta, Hari Nugroho, mengungkap, ada tiga faktor utama berkaitan dengan pemicu seseorang memakai narkoba sabu.

"Orang menggunakan sabu tentu banyak alasan dan faktornya, baik faktor internal maupun eksternal. Namun, pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (faktor)," kata Hari saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (20/7/2019).

Faktor pertama orang ingin memakai narkoba seperti sabu dan lainnya adalah untuk bersenang-senang atau memunculkan rasa semangat dalam dirinya.

"Misalnya, (seseorang pakai sabu) supaya kuat melakukan aktivitas sehari-hari dengan penuh semangat tanpa lelah. Ini karena sifat sabu yang stimulan," ujar Hari.

Faktor kedua, untuk mengatasi masalah. Pengguna sabu merasa mampu mengatasi suatu permasalahan dengan lebih baik jika sebelumnya mengonsumsi sabu terlebih dahulu.

"Misal karena kurang percaya diri, cemas, depresi, merasa terlalu gemuk sehingga ingin menurunkan berat badannya supaya tampil prima, atau tidak percaya diri dengan kemampuan melakukan aktivitas seksual, sehingga menggunakan sabu supaya tahan lama dan lain-lain," kata Hari menambahkan.

Faktor terakhir pemicu memakai sabu adalah rasa penasaran dan tekanan lingkungan. Hari mengatakan, hal ini juga menyumbang angka pengguna sabu.

Sementara itu, melansir American Addiction Centers, tak mudah bagi pencandu untuk lepas dari narkoba.

Pasalnya, banyak orang yang pulih dari kecanduan menghadapi risiko tinggi untuk kambuh secara konsisten, karena penggunaan zat kronis dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional tertentu pada otak yang bertahan lama, setelah kesadaran pertama kali diperoleh.

Ini karena narkoba pada akhirnya masuk ke otak melalui aliran darah. Sampai di otak, mereka memengaruhi bagaimana pesan dikirim melalui otak.

Otak adalah pusat komunikasi besar yang menyampaikan pesan bolak-balik untuk mengatur apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Pesan-pesan tersebut dikirim melalui bahan kimia di otak yang disebut neurotransmitter.

Narkoba bekerja dengan berbagai cara. Baik itu dengan meningkatkan maupun mengurangi produksi neurotransmitter seperti dopamin (kesenangan), noradrenalin (berkelahi atau lari) dan serotonin (suasana hati); atau memengaruhi berapa banyak dan berapa lama neurotransmitter tetap aktif; atau berikatan dengan reseptor alami untuk meniru dan mengaktifkan jalur neurotransmitter alami.

Narkoba pengaruhi sistem dopamin

Seperti yang pernah diberitakan Kompas.com sebelumnya (14/10/2019), sebagian besar narkoba berdampak pada sistem dopamin, yang mengendalikan emosi, motivasi, dan perasaan senang.

Ini adalah sistem ganjaran otak. Otak kita terprogram untuk memastikan kita mengulangi kegiatan yang menyenangkan.

Ketika kita melakukan sesuatu yang menyenangkan, kita mendapatkan sedikit dopamin, ini mengingatkan kita untuk melakukannya lagi melalui otak.

Dijelaskan Nicole Lee, Professor di National Drug Research Institute, Curtin University, narkoba mengaktifkan dopamin dalam jumlah yang jauh lebih besar, dibandingkan kegiatan pengaktif dopamin lainnya, seperti makan dan seks.

Akibatnya, ada dorongan dari dalam yang kuat untuk mengulangi penggunaan narkoba. Otak menjadi prima untuk mengulangi penggunaan narkoba tanpa benar-benar memikirkannya.

Sama seperti ketika Anda benar-benar menginginkan cokelat. Anda dapat melihatnya di dalam pikiran Anda, sangat ingin mencicipinya, Anda memikirkannya sepanjang waktu, Anda mencari di dalam lemari untuk menemukannya, Anda bahkan mungkin masuk ke dalam mobil untuk pergi membelinya.

Pada pencandu narkoba, keinginan itu sepuluh kali lebih kuat atau bahkan lebih. Dan begitulah mengapa beberapa orang kembali menggunakan narkoba.

Ketika dopamin dalam jumlah besar dilepaskan, otak mengalami kesulitan menjaga produksinya dan dapat kehabisan dopamin pada sementara waktu.

Ini menyebabkan, satu atau dua hari setelah menggunakan narkoba, pencandu tampak datar atau tertekan.

Setelah satu hari atau lebih, otak kembali memproduksi dopamin dan suasana hati kembali normal.

Ketika dopamin yang tersimpan kerap terkuras berulang-ulang, otak tidak dapat mengatasinya dan mulai menutup beberapa struktur yang diperlukan, untuk memindahkan dopamin ke sekitar otak.

Beberapa jalur dopamin utama melintas melalui bagian otak yang digunakan untuk berpikir - korteks prefrontal.

Ketika sistem dopamin rusak pada bagian otak ini, akan jauh lebih sulit untuk memikirkan konsekuensi dan mempertimbangkan keputusan yang akan dibuat, sehingga penggunaan narkoba menjadi lebih otomatis.

Ketika dopamin habis karena penggunaan yang kronis, seseorang mungkin bisa merasa datar selama berbulan-bulan, bahkan ketika mereka berhenti menggunakan narkoba.

Hal ini yang kemudian akan menjadi motivasi penggunaan narkoba untuk kembali merasakan kesenangan.

Di sisi lain, menurut Tammy Anderson, seorang profesor sosiologi spesialis dalam penggunaan obat terlarang di Universitas Delaware mengatakan, faktor-faktor sosial juga dapat berperan dalam kambuhnya kecanduan narkoba.

Banyak orang yang kecanduannya kambuh, karena mereka berada di lingkungan sosial yang menggunakan obat-obatan terlarang juga.

"Hal ini dapat membuat seseorang kembali menggunakan obat-obatan berbahaya," kata Anderson.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/04/20/200519523/rio-reifan-kembali-ditangkap-kenapa-pencandu-sulit-lepas-dari-narkoba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke