Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Eksistensi Ancaman Penyakit Tidak Menular

Pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor ekonomi dan non-ekonomi di dunia maupun di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, sejak 9 Januari 2021 kasus terkonfirmasi Covid-19 sudah menyentuh angka diatas 10.000 kasus per hari, rekornya terjadi pada 30 Januari 2021 mencapai 14.518 kasus terkonfirmasi dalam satu hari (Covid-19.go.id, 2020).

Kendati sejak 11 Januari hingga 8 februari 2021, dan diperpanjang dengan PPKM mikro, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), faktanya tidak semata-mata mampu menekan pergerakan masyarakat di Jawa-Bali.

Kalaupun dampak PPKM tidak bisa tercermin saat ini, setidaknya belum ada tanda-tanda penurunan aktivitas masyarakat di wilayah Jawa-Bali.

Di sisi lain, pandemi ini menyebabkan penanganan pasien dengan penyakit selain Covid-19 menjadi less priority.

Akibatnya, pasien non-Covid-19 sulit atau kadang enggan (jika tidak terpaksa) untuk mendapatkan fasilitas kesehatan.

Berdasarkan hasil survei Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), LIPI menunjukkan bahwa terdapat 403 responden rumah tangga (26,95% dari total responden) dari total responden 1495 rumah tangga menyatakan, bahwa dalam rumah tangganya setidaknya ada satu anggota keluarga yang mengalami masalah penyakit tidak menular (NCD).

Dalam survei tersebut, penyakit tidak menular yang dimaksud adalah sakit jantung, maag/tifus, diabetes, darah tinggi, kanker, gagal ginjal, dan stroke.

Sejalan dengan hal itu, data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) (2020) menunjukkan pada 2019, terdapat 4 dari 5 besar penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular. Keempat penyakit tersebut, meliputi stroke, sakit jantung, diabetes, dan cirosis.

Kondisi ini menunjukkan, bahwa ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia tidak hanya pandemi Covid-19, namun juga penyakit tidak menular.

Hal ini perlu mendapat perhatian, karena NCD atau penyakit tidak menular telah menjadi ancaman lama bagi produktivitas masyarakat Indonesia.

Selain itu, adanya pandemi semakin menyulitkan masyarakat yang memiliki NCD untuk mengakses fasilitas kesehatan. Terlebih NCD berpotensi meningkatkan severity (tingkat keparahan) apabila terinfeksi Covid-19.


Implikasi A non-communicable disease (NCD)

NCD sering disebut sebagai penyakit katastropik, karena pengobatannya yang terus-menerus (seumur hidup) dan tentunya biaya pengobatannya tidak jarang sangat mahal. Hal ini memberikan beberapa implikasi bagi individu maupun nasional.

Pertama, NCD berdampak secara langsung bagi penurunan produktivitas individu, baik penurunan jam kerja maupun kemampuan fisik. Akibatnya, aktivitas bekerja tidak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Kedua, seseorang yang terkena NCD biasanya memerlukan perawatan jangka panjang. Implikasi dari hal ini tentunya biaya yang cukup besar harus disiapkan.

Selain itu, individu dengan NCD akan memiliki keterbatasan dalam beraktivitas karena harus fokus pada perawatan kesehatannya.

Ketiga, seiring dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penyakit tidak menular katastropik akan menjadi beban finansial bagi badan penyelenggara JKN.

Pandemi Covid-19 yang terjadi tidak serta-merta menghilangkan tanggung jawab BPJS-Kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan.

Sayangnya, pandemi secara signifikan menurunkan angka kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes).

Apabila tidak sangat mendesak tentu mereka dengan NCD (dikenal memiliki faktor komorbid) diharapkan tidak ke faskes.

Pasalnya, faskes saat ini fokus pada penanganan pasien dengan covid-19, sehingga sangat memungkinkan pasien nonCovid-19 terinfeksi ketika berada di faskes.

Tidak hanya Covid-19 yang menurunkan produktivitas sebuah bangsa, karena banyaknya para ahli khususnya di bidang kesehatan yang wafat, penyakit tidak menular pun juga berkontribusi yang sama.

Kehilangan waktu akibat berobat, perawatan, maupun biaya kesehatan yang dikeluarkan (baik oleh BPJS-Kesehatan maupun biaya pribadi), tentu hal ini yang harus ditanggung oleh individu dan negara. Akibatnya, bisa berdampak pada penurunan daya saing bangsa.


Lalu, bagaimana mengatasinya?

Penyakit tidak menular katastropik tentunya tidak terlepas dari perilaku hidup yang tidak sehat dari setiap individu, walaupun faktor keturunan pun ikut berkontribusi.

Kendati penyakit NCD tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, perlu strategi bagi pemerintah untuk menekan kasus NCD katastropik.

Pertama, skema pajak dan non-pajak untuk mengendalikan perilaku konsumsi yang memicu terjadinya NCD.

Penerapan pajak yang lebih besar terhadap produk makanan dan minuman yang bisa memicu terjadinya penyakit katastropik, seperti rokok, makanan, dan minuman kemasan.

Selain itu, produk yang menimbulkan polusi juga perlu mendapatkan penerapan pajak yang lebih besar, seperti sepeda motor, mobil, PLTU, dan lainnya.

Skema non-pajak bisa dilakukan dengan memberikan dukungan, baik subsidi maupun kemudahan berusaha bagi perusahaan penyedia makanan organik, rendah lemak, garam, dan gula, serta sayur dan buah-buahan, sehingga dapat berkontribusi positif bagi kesehatan masyarakat.

Kedua, pemerintah Indonesia perlu membentuk dana abadi kesehatan untuk mendukung skema jaminan kesehatan nasional (JKN).

Sejak diimplementasi pada 2014, BPJS-Kesehatan sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjalankan skema pembiayaan asuransi kesehatan nasional menuju universal health coverage (UHC) mengalami defisit keuangan yang terus meningkat.

Pada Juni 2020, BPJS-Kesehatan mencatatkan total defisit mencapai Rp.6,54 triliun (Bisnis.com). Kondisi ini tentu akan menjadi tanggungan Negara, sesuai dengan amanat undang-undang untuk menutup defisit BPJS-Kesehatan.

Maka, melihat kondisi yang ada, pemerintah perlu mempersiapkan skema pendanaan kesehatan melalui dana abadi kesehatan.

Data IHME (2020) menunjukkan, bahwa pada tahun 2017 pengeluaran kesehatan di Indonesia terbesar dikeluarkan oleh pengeluaran kesehatan dari pemerintah sebesar $52 (sekitar Rp 749.000) dari $120 (sekitar Rp 1.7 juta) untuk biaya kesehatan yang dikeluarkan per orang.

IHME juga melakukan prediksi pada tahun 2050, pengeluaran kesehatan di Indonesia akan mencapai $427 (sekitar Rp 6.1 juta) per orang, dimana $251 (sekitar Rp 3.6 juta) per orang dikeluarkan oleh pemerintah.

Terlebih ditengah pandemi saat ini, memungkinkan defisit BPJS-Kesehatan lebih besar, karena tentu akan kian meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan.

Ketiga, skema stick and carrot untuk meningkatkan kesadaraan masyarakat, entitas bisnis, dan komunitas untuk mendukung kesehatan bersama.

Pada jangka pendek bisa dilakukan dengan mendorong entitas bisnis makanan dan minuman untuk menyampaikan nilai kalori dalam setiap produknya.

Selain itu, kampanye konsumsi makanan dan minuman yang dianjurkan perhari. Pembatasan dan peningkatan pajak/cukai untuk produk tembakau dan alkohol.

Pada jangka panjang, pemerintah bisa melakukan pembatasan konsumsi berbagai jenis makanan dan minuman, namun, memerlukan nomer induk tunggal (NIT) yang mencatat semua aktivitas konsumsi masyarakat, tentu produk yang mengandung gula, garam, dan lemak perlu dibatasi.

Sedangkan, produk tembakau dan alkohol perlu ada peningkatan, baik pajak maupun cukai. Sebaliknya, konsumsi buah dan sayur-sayuran dapat didorong melalui subsidi dan insentif pajak.

Hal ini perlu dilakukan mengingat amanat JKN untuk menjamin kesehatan masyarakat, di sisi lain ada moral hazard bagi sebagian masyarakat, karena telah dilindungi kesehatannya melalui JKN.

Ketiga strategi ini penting, tentu untuk menjamin terlaksananya sistem kesehatan nasional (SKN) yang handal, setara, dan tentunya tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, namun meningkatkannya.

Felix Wisnu Handoyo
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI

https://www.kompas.com/sains/read/2021/03/14/130100823/eksistensi-ancaman-penyakit-tidak-menular

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke